Napombalu adalah nama sebuah pulau
karang yang terletak di sebelah selatan Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara,
Indonesia. Menurut cerita, pulau yang terkenal sebagai tonggak batas Kepulauan
Talaud paling selatan ini merupakan penjelmaan dari seorang laki-laki yang
dikubur hidup-hidup bernama Lawongo. Mengapa Lawongo dikubur hidup-hidup?
Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Napombalu berikut ini.
* * *
Alkisah,
di Pulau Kabaruan, Sulawesi Utara, hiduplah seorang pemuda tampan bernama
Lawongo. Ia seorang pemburu babi hutan dan pemain suling yang mahir.
Kemahirannya bermain suling sangat dikagumi oleh masyarakat sekitar. Banyak
gadis cantik yang jatuh cinta kepadanya, namun tak seorang pun yang memikat
hatinya. Untuk mencari gadis yang didambakannya, ia sering berkeliling di Pulau
Kabaruan mempertunjukkan kemahirannya memainkan suling.
Pada suatu hari, tibalah Lawongo di
Desa Damau. Para warga desa pun berkumpul hendak menyaksikan pertunjukannya.
Lawongo memainkan sulingnya dengan lincahnya sambil mengamati gadis-gadis yang
ikut menonton pertunjukannya. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba padangan
matanya tertuju pada seorang gadis cantik yang berdiri di antara kerumunan
penonton. Melihat kecantikan gadis itu, ia pun langsung terpikat. Dengan penuh
semangat, ia pun mengeluarkan seluruh kemampuannya bermain suling untuk memikat
hati gadis itu. Gadis itu pun terbuai menikmati permainan suling Lawongo sambil
menatap mata Lawongo denga penuh arti.
Setelah pertunjukan Lawongo selesai,
para warga pun membubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing, kecuali
gadis itu. Si Gadis tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Lawongo pun segera
menghampiri dan menyapanya.
“Hai, gadis cantik! Apakah Adik suka
dengan permainan suling Abang?” tanya Lawongo.
“Iya, Bang! Adik sangat kagum dengan
permainan suling Abang?” jawab gadis itu sambil tersenyum.
Mendapat tanggapan baik dari gadis
itu, Lawongo pun tidak segan-segan mengungkapkan perasaannya dengan untaian
pantun.
Dari
mana hendak ke mana
Dari Jepang ke
Bandar CinaKalau boleh
kami bertanyaBunga yang
kembang siapa punya?Singgah berlabuh di Singapura
Bunga yang kembang siapa punya?
Kami ingin memetiknya
Kain cela tepi bersuji
Masakan lepas pada yang lain
Jika sudah disitu janji
Lalu sampaikan atas galah
Jika sudah disitu janji
Hajatpun lalu disampaikan Allah
Ubur-ubur sampingan dua
Kalau mati bersama
Satu kubur kita berdua
Tanam melati bersusun tangkai
Satu kubur kita berdua
Kalau boleh bersusun bangkai
Dari
Jepang ke Bandar Cina
Gadis itu pun menjawab dengan
untaian pantun pula.
Tetak
buluh sampaikan kain
Kain
celah tepi bersuji
Setelah mengungkapkan perasaan suka
sama suka, kedua sejoli itu pun saling berjanji.
Tanam
melati di ruma-ruma
Ubur-ubur
sampingan dua
Akhirnya, Lawongo pun menikah dengan
gadis itu. Sejak saat itu, ia pun menetap di Desa Damau, tempat tinggal
istrinya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, Lawongo bercocok
tanam dan berburu babi hutan. Hampir setiap hari ia berhasil mendapatkan
binatang buruan. Penduduk Desa Damau pun sangat menghargai pekerjaannya
tersebut, karena sejak kedatangannya ke desa itu, para penduduk terhindar dari
gangguan babi hutan yang kerap berkeliaran di sekitar desa dan merusak tanaman
mereka. Di samping itu, pada malam harinya, para penduduk sangat terhibur
dengan irama suling yang dimainkan oleh Lawongo. Lawongo pun segera mendapat
perhatian dari penduduk setempat dan menjadi pujaan bagi semua warga, baik yang
tua maupun yang muda. Bahkan, banyak gadis kerap mencari-cari perhatian dan
menggondanya, namun Lawongo tidak pernah terpengaruh oleh godaan itu.
Sebesar apa pun godaan yang datang
kepadanya, Lawongo akan tetap sayang kepada istrinya. Sejak awal ia sudah
berjanji untuk selalu bersama istrinya sehidup-semati, karena ia merasa senang,
tenteram, dan bahagia hidup bersama pujaan hatinya itu. Namun, di tengah-tengah
ketenangan, ketenteraman, dan kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul malapetaka yang
menimpa kehidupannya.
Pada suatu malam, Lawongo bermimpi
sedang pergi berburu babi di tengah hutan. Babi yang sedang diburuhnya itu
sangat besar. Selama menjadi pemburu binatang, ia tidak pernah menemukan babi
sebesar itu. Dengan seluruh kemampuannya, ia pun melemparkan tombaknya ke arah
babi hutan itu. Duggg...!!! Tombaknya tempat mengenai punggung babi itu. Apa
yang terjadi? Babi besar itu bukannya roboh, tetapi justru mengamuk dengan
ganasnya dan berbalik menyerangnya. Menyadari hidupnya terancam, Lawongo pun
segera mencabut pisaunya dari warangkanya, lalu menikamkannya ke lambung kanan
babi itu. Setelah memastikan babi itu benar-benar telah mati, ia segera
memasukkan pisaunya ke dalam warangkanya dan kemudian membawa pulang babi hasil
buruannya itu untuk ditunjukkan kepada istrinya. Saat tiba di rumahnya,
tiba-tiba ia terbangun dan tersadar dari mimpinya. Oleh karena malam masih
larut, ia pun kembali melanjutkan tidurnya di samping istrinya.
Keesokan harinya, seperti biasanya,
Lawongo bangun pagi-pagi sekali untuk bersiap-siap pergi berburu. Setelah
mempersiapkan tombak dan pisaunya, berangkatlah ia ke hutan. Ia sengaja tidak
membangunkan istrinya karena hari masih sangat pagi.
Sesampainya di hutan, Lawongo
langsung melakukan perburuan. Sudah setengah hari ia berkeliling di hutan itu,
namun tak seekor pun binatang buruan yang ditemukannya.
“Aneh, sungguh aneh! Kenapa suasana
hari ini sangat sepi? Tak seekor burung yang berkicau. Pepohonan pun seakan
diam membisu. Babi hutan dan binatang lainnya juga tidak ada yang berkeliaran,”
gumam Lawongo dengan heran.
Hari pun sudah semakin siang. Badan
Lawongo sudah sangat letih, perutnya terasa sangat lapar, dan kerongkongannya
pun terasa kering karena haus. Ia pun segera memanjat pohon kelapa dan memetik
beberapa butir buah kelapa muda, lalu membelahnya. Betapa terkejutnya ia ketika
akan mencabut pisaunya, pisau itu melekat sangat keras pada warangkanya.
“Aduuuh, kenapa pisau ini sangat
disulit dicabut?” keluh Lawongo.
Dengan sekuat tenaga Lawongo
mencabut pisau itu, dan akhirnya ia pun berhasil. Ia sangat terperanjat saat
melihat darah membeku di pisaunya itu.
“Wah, ternyata darah inilah yang
menyebabkan pisau ini sulit dicabut dari warangkanya,” gumamnya.
Sejenak Lawongo terdiam memikirkan
kenapa ada darah membeku pada pisaunya itu. Tiba-tiba, ia pun teringat pada
mimpinya semalam. Saat itu pula, ia teringat pada istrinya yang tidur di
sampingnya semalam.
“Waduh! Jangan-jangan aku salah
tikam semalam?” ucap Lawongo dengan menduga-duga.
Tanpa berpikir panjang, Lawongo
segera berlari pulang ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia melihat sudah
banyak warga yang berkumpul di depan rumahnya.
“Ada apa, Pak! Kenapa kalian
berkumpul di sini?” tanya Lawongo kepada seorang warga.
“Maaf, Lawongo! Kami turut berduka
cita melihat kondisi istrimu,” jawab warga itu.
“Memangnya kenapa dengan istriku?”
tanya Lawongo cemas.
“Para warga menemukan istrimu dalam
keadaan terbujur kaku,” jawab warga itu.
Mendengar keterangan warga itu,
Lawongo pun semakin yakin dengan dugaannya bahwa bukanlah babi hutan yang ia
tusuk dengan pisaunya semalam, melainkan istrinya yang sedang tidur di
sampingnya. Ia pun segera berlari masuk ke dalam rumahnya untuk melihat keadaan
istrinya. Saat masuk ke dalam kamar, ia melihat istrinya tidur terlentang
ditutupi oleh kain kafan di atas pembaringan yang ditunggui oleh sejumlah
warga. Dengan perlahan-lahan, Lawongo membuka kain kafan itu. Saat kain kafan
terbuka, terlihatlah tubuh pada bagian lambung istrinya penuh dengan darah yang
sudah membeku.
“Tidaaak....!!! Jangan tinggalkan
aku, Istriku!” teriak Lawongo dengan histeris di antara kerumunan warga yang
sedang mengelilingi istrinya.
Lawongo sangat menyesal atas
kejadian yang menimpa istrinya itu.
“Maafkan Abang, Istriku! Abang tidak
bermaksud melakukan ini. Abang sangat mencintaimu, Istriku!” seru Lawongo
sambil menangis terseduh-seduh.
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah
menjadi bubur. Istri Lawongo yang sangat dicintainya itu telah pergi menghadap
kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa. Lawongo pun tidak dapat berbuat apa-apa untuk
menyelamatkan istrinya. Sesuai dengan sumpah janjinya ketika untuk selalu
bersama istrinya sehidup-semati dan satu kubur berdua, ia pun meminta kepada
warga agar segera membuat dua peti mati, satu untuk istrinya dan satu lagi
untuk dirinya. Semua warga terperanjat mendengar permintaannya itu.
“Jangan lakukan itu, Lawongo! Jika
kamu ikut mati bersama istrimu, kami akan merasa kesepian, karena tidak lagi
mendengar irama sulingmu yang sangat merdu itu. Lagipula kamu masih terlalu
muda dan masih mempunyai banyak harapan untuk bisa hidup lebih baik lagi,”
pesan seorang warga.
Namun, Lawongo tidak menghiraukan
nasehat tersebut. Ia tetap bertekad mati bersama istri yang sangat dicintainya
itu.
“Tidak, Pak! Aku harus mati bersama
istriku. Dialah satu-satunya harapan saya di dunia ini,” kata Lawongo.
Setelah itu, Lawongo berpesan kepada
sanak saudara, teman-teman, dan penduduk setempat agar segera membuat lubang
dan saluran udara pada peti matinya.
“Kalian tidak usah bersedih. Saya
akan bermain suling di dalam peti mati itu untuk menghibur kalian semua,” kata
Lawongo.
Para warga tidak dapat lagi mencegah
keinginan Lawongo dan segera memenuhi permintaannya. Setelah semuanya selesai,
Lawongo pun bersiap-siap untuk dikuburkan bersama istrinnya. Sebelum masuk ke
dalam peti matinya, Lawongo kembali berpesan kepada warga.
“Jika kalian sudah tidak mendengar
lagi suara sulingku, berarti aku sudah tidak ada lagi di dalam kubur ini.
Pergilah kalian ke pantai dan kalian akan melihat benda aneh muncul dari laut,
datang dari kaki langit. Benda aneh itu adalah penjelmaanku. Tapi, ingat!
Kalian jangan menunjuk benda itu dan jangan pula kalian teriaki. Kalian diam
saja di pantai dengan tenang sambil menunggu benda itu,” ujar Lawongo.
Setelah Lawongo masuk ke dalam peti
mati itu, para warga pun segera menguburkan Lawongo bersama istrinya. Pada hari
pertama dan kedua, mereka masih mendengar suara suling Lawongo dengan sangat
nyaring dan merdu. Pada hari ketiga, suara suling Lawongo semakin kecil.
Memasuki hari kempat dan kelima, suara suling itu hanya terdengar sayup-sayup
dan akhirnya pada hari ketujuh suara suling Lawongo lenyap sama sekali.
Teringat pada pesan Lawongo,
pagi-pagi sekali, seluruh sanak keluarga dan teman-teman Lawongo serta penduduk
Desa Damau segera berlari menuju ke pantai. Sesampainya di pantai, mereka duduk
dengan tenang sambil menunggu benda aneh yang datang dari kaki langit
sebagaimana yang dikatakan oleh Lawongo. Sudah dua jam mereka menunggu, namun
belum ada tanda-tanda akan munculnya benda aneh itu. Para warga pun mulai meragukan
akan kebenaran perkataan Lawongo.
“Wah, sudah lama kita menunggu di
sini, tapi benda aneh itu tidak muncul juga. Jangan-jangan Lawongo hanya
mengada-ada,” ucap seorang warga.
“Benar, barangkali Lawongo hanya
membohongi kita semua,” tambah seorang warga lainnya.
“Sebaiknya kita tunggu beberapa saat
lagi,” sahut salah seorang keluarga istri Lawongo.
Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba
sebuah benda berwarna kehitam-hitaman mencuat menyerupai gunung muncul dari
permukaan laut di kaki langit. Benda aneh itu bergerak menuju ke arah pantai
Desa Damau. Melihat benda itu, para warga hanya terperangah melihat benda aneh
itu. Mereka pun tidak berani berteriak dan menunjuk benda itu sebagaimana pesan
Lawongo. Semakin lama benda itu semakin mendekat ke arah mereka. Mereka pun
mulai ketakutan karena khawatir benda besar itu menabrak pulau tempat tinggal
mereka. Baru saja mereka akan berlari meninggalkan pantai itu, tiba-tiba benda
raksasa itu berhenti di tengah laut. Para warga pun semakin penasaran ingin
mengetahui benda itu dari dekat. Maka berlayarlah beberapa orang warga menuju
ke arah benda itu. Setelah mereka mendekat, ternyata benda itu adalah sebuah
pulau karang. Mereka pun menamai pulau itu Napombalu yang diambil dari kata napo berarti pulau
karang, dan kata nawalu
yang berarti benda aneh yang berubah menjadi sebuah pulau. Di saat pasang
besar, pulau itu tenggelam dan di saat surut, pulau itu muncul kembali di
permukaan laut.
*
* *
Demikian cerita Nampombalu dari daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Cerita di atas
termasuk ke dalam kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat
dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik
dari cerita di atas adalah bahwa mencintai seseorang secara berlebihan dapat
membutakan hati dan pikiran, serta mempersempit wawasan kita tentang masa
depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar