Gunung Saba Mpolulu terletak di Kecamatan Kabaena, Kabupaten
Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Dalam bahasa setempat, kata Saba
berarti terpongkah, jatuh, atau hilang sebagian, seperti mata kapak yang sompel
akibat berbenturan dengan batu atau benda keras lainnya. Sedangkan kata Mpolulu
berarti kapak. Oleh masyarakat Kabaena, kata Saba Mpolulu diasosiasikan
pada bentuk puncak gunung seperti kapak yang terkena benda keras. Menurut
cerita yang berkembang di kalangan masyarakat Kabaena, terpongkahnya puncak
gunung Saba Mpolulu tersebut disebabkan oleh sebuah peristiwa dahsyat yang
terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah sebenarnya yang terjadi, sehingga
puncak Gunung Saba Mpolulu terpongkah atau hilang sebagian? Kisahnya dapat Anda
ikuti dalam cerita Asal
Usul Gunung Saba Mpolulu berikut ini.
* * *
Konon, di Sulawesi Tenggara, Indonesia, ada dua buah
gunung yang terletak berjauhan. Yang satu terletak di daerah Labunoua (sebelah
timur) dan yang satunya lagi terletak di daerah Kabaena (sebelah barat). Gunung
yang berada di Labunoua bernama Gunung Kamonsope, sedangkan gunung yang berada
di Kabaena bernama Gunung Mata Air. Di masing-masing gunung tersebut ada
penunggu atau penjaganya. Gunung Kamonsope dijaga oleh seorang perempuan
cantik, sedangkan Gunung Mata Air dijaga oleh seorang laki-laki bertubuh gendut
dan berambut gondrong.
Pada suatu ketika, musim kemarau melanda daerah itu selama
berbulan-bulan, sehingga seluruh daerah itu kekurangan air. Kecuali Gunung
Kamonsope, persediaan airnya masih melimpah. Oleh penjaganya, air tersebut
digunakan untuk mengairi daerah sekitar Gunung Kamonsope yang ditumbuhi oleh
pepohonan dan tanaman.
Sementara itu, Gunung Mata Air
sangat kekurangan air. Jangankan untuk mengairi pepohonan dan tanaman, air
untuk digunakan mandi pun sulit diperoleh. Memang aneh. Walaupun gunung itu
bernama Gunung Mata Air, tetapi masih tetap kekurangan air.
Suatu hari, penjaga Gunung Mata Air
meminta air kepada penjaga Gunung Kamonsope untuk mengairi daerah sekitar
Gunung Mata Air yang dilanda kekeringan.
“Maaf saudari, bolehkah aku
meminta sebagian airmu?” pinta penjaga Gunung Mata Air dengan sopan.
”Maaf Tuan, aku tidak dapat
memberikanmu air, karena aku juga membutuhkan banyak air,” jawab penjaga Gunung
Kamonsope.
Beberapa kali penjaga Gunung Mata
Air meminta air, namun penjaga Gunung Kamonsope tetap menolak permintaannya.
Hal ini membuat penjaga Gunung Mata air menjadi murka.
”Jika kamu tidak mau memberikan
airmu, aku akan memaksamu!” seru penjaga Gunung Mata Air dengan kesal.
”Jika aku tidak mau memberimu air,
itu adalah hakku. Kenapa kamu memaksa? Tapi, kalau kamu berani, silahkan!”
tantang penjaga Gunung Kamonsope.
”Dasar perempuan pelit! Kalau itu maumu, tunggu saja
pembalasanku!” seru penjaga Gunung Mata Air lalu segera kembali ke tempatnya
dengan perasaan marah.
Sesampainya di Gunung Mata Air, lelaki gemuk itu langsung
merebahkan tubuh di pembaringannya. Pikirannya mulai berkecamuk memikirkan
bagaimana cara memperoleh air dari perempuan itu dengan paksa. Kemudian,
tiba-tiba sesuatu terlintas dalam pikirannya.
”Aku ini adalah laki-laki, sedangkan penjaga Gunung Kamonsope
adalah perempuan. Ah, masa aku dilecehkan oleh perempuan itu. Aku akan
menembaknya dengan meriamku,” pikirnya.
Rupanya penjaga Gunung Mata Air merasa harga dirinya
diinjak-injak, sehingga membuatnya tambah marah dan memutuskan untuk memerangi
penjaga Gunung Kamonsope dengan menggunakan kekuatan senjata. Ia pun
mengeluarkan senjata meriamnya.
”Dengan meriam ini, aku akan menghancurkan Gunung Kamonsope
sampai berkeping-keping,” gumam penjaga Gunung Mata Air.
Setelah itu, penjaga Gunung Mata Air segera menembakkan
meriamnya.
”Duorr...!” terdengar suara letusan.
Tembakan pertama itu tidak mengenai sasaran. Tembakan kedua
pun diluncurkan, namun masih meleset. Tembakan ketiga, peluru tidak sampai ke
sasaran. Berkali-kali penjaga Gunung Mata Air meluncurkan peluru meriamnya,
namun tidak ada yang mengenai sasaran. Ia pun semakin murka dan emosinya tidak
terkendali. Ia menembakkan satu persatu peluru meriamnya ke arah Gunung
Kamonsope, namun tidak satu pun yang mengenai sasaran. Tanpa disadarinya,
ternyata ia telah kehabisan peluru.
Sementara itu, penjaga Gunung Kamonsope yang mengetahui
tempatnya diserang segera mengambil senjata untuk membalasnya. Ia pun
mengeluarkan meriamnya yang ukurannya lebih besar daripada meriam milik penjaga
Gunung Mata Air. Hanya sekali tembak, peluru meriamnya langsung mengenai
sasaran.
”Duooorrr...!!! Booom....!!! ” terdengar suara letusan yang
sangat dahsyat.
Peluru meriam itu tepat mengenai puncak Gunung Mata Air
hingga terpongkah. Puncak gunung itu hilang sebagian sehingga membentuk seperti
kapak yang terkena benda keras. Sejak peristiwa itu, Gunung Mata Air berganti
nama menjadi Gunung Saba Mpolulu.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Gunung Saba Mpolulu dari
daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas
tergolong cerita legenda yang mengandung
nilai-nilai moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Setidaknya ada dua pesan moral yang diambil dari cerita di atas, yaitu sifat
kikir atau pelit dan sifat suka memandang remeh orang lain.
Pertama, sifat kikir atau pelit. Sifat ini tercermin pada
perilaku penjaga Kamonsope yang tidak mau membagi rezeki Tuhan kepada orang
lain. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa sifat kikir atau pelit
dapat menimbulkan terjadinya suatu tindak kekerasan ataupun peperangan.
Kedua, sifat suka memandang remeh orang lain. Sifat ini tercermin
pada perilaku penjaga Gunung Mata Air yang memandang remeh kemampuan penjaga
Gunung Kamonsope sebagai seorang perempuan. Namun, tanpa diduga, ternyata
perempuan itu memiliki senjata yang lebih ampuh. Pelajaran yang dapat diambil
dari sini bahwa hendaknya seseorang tidak mengukur kemampuan orang lain hanya
dengan melihat bentuk fisiknya. Dikatakan dalam Tunjuk Ajar Melayu:
kalau suka merendahkan orang lain,
kalau tidak jadi abu, menjadi arang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar