Alamona
Ntautama Ntaloda
Diceritakan
kembali oleh Larisman E Lalintia
Kepulauan
Talaud adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia dengan
jumlah penduduk lebih kurang 60.000 jiwa. Menurut cerita yang beredar di
kalangan masyarakat setempat, manusia pertama yang menghuni daerah tersebut
berasal dari seekor ketam, yaitu
jenis kepiting yang berkaki enam dan bersepit. Bagaimana peristiwa ajaib itu
bisa terjadi? Ikuti kisahnya dalam cerita Alamona n'Tautama n'Taloda: Manusia
Pertama di Kepulauan Talaud
berikut ini!
*
* *
Alkisah, di
sebelah utara Pulau Sulawesi terdapat sebuah daerah yang bernama Kepulauan
Talaud. Dahulu, saat belum dihuni oleh manusia, kabupaten yang terletak di
kawasan paling utara Indonesia timur ini masih dipenuhi tetumbuhan dan hanya
dihuni oleh seekor ketam
yang tinggal di puncak Gunung Karakelang. Menurut cerita masyarakat setempat,
binatang amfibi tersebut kemudian berubah menjadi seorang manusia laki-laki.
Oleh karena tidak memiliki nama, maka manusia laki-laki itu dipanggil Manusia
Ketam. Agar dapat bertahan hidup, ia setiap hari berkeliling pulau mencari
dedaunan dan buah-buahan untuk dimakan. Ke mana pun pergi, ia juga selalu
membawa saputta atau sumpit yang terbuat dari bilah bambu.
Suatu hari,
ketika sedang berkeliling di pulau itu, Manusia Ketam tiba-tiba mencium bau
harum yang sangat menyengat.
“Mmm… bau apa
nih?” gumam Manusia Ketam, “Rasanya aku belum pernah mencium bau harum seperti
ini?”
Manusia Ketam
sangat penasaran dengan bau harum itu. Ia pun segera mencari sumber bau itu
sambil mengembang-kempiskan hidungnya. Semakin lama bau harum itu semakin
menyengat hidungnya.
“Sumber bau
harum itu pasti ada di sekitar sini,” gumamnya.
Beberapa saat
kemudian, Manusia Ketam sampai di tepi sebuah telaga. Alangkah terkejutnya ia
ketika melihat tujuh wanita cantik sedang mandi di tengah telaga. Mereka adalah
para bidadari yang berasal dari Negeri Kahyangan. Manusia Ketam sangat heran
karena selama berada di pulau itu ia belum pernah melihat wanita cantik,
apalagi bidadari yang secantik itu.
Sebelum para
bidadari tersebut mengetahui kedatangannya, Manusia Ketam segera bersembunyi di
balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia kemudian mengamati
gerak-gerik para bidadari yang sedang asyik mandi.
“Wow, ini
pemandangan yang sangat mengagumkan. Sungguh cantik wanita-wanita itu,” gumam
Manusia Ketam dengan kagum.
Rupanya, salah
satu dari bidadari tersebut tiba-tiba mencium bau manusia.
“Sepertinya ada
bau manusia,” kata salah bidadari itu.
Namun,
perkataan bidadari itu tidak dihiraukan oleh bidadari lainnya karena mereka
sedang asyik bercanda dan bersuka-ria. Sementara itu, Manusia Ketam yang sedang
bersembunyi di balik pohon tiba-tiba pandangannya tertuju pada sejumlah kain
berwarna-warni yang teronggok di atas batu, tidak jauh dari tempat para
bidadari itu mandi. Rupanya, onggokan kain berwarna-warni itu adalah baju dan
sayap milik para bidadari tersebut.
Manusia Ketam
kemudian berpikir bahwa para bidadari pasti tidak akan bisa terbang tanpa sayap
itu. Oleh karena itu, ia bermaksud untuk mengambil salah satu dari onggokan
sayap tersebut. Dengan melangkah perlahan-lahan, ia mendekati onggokan kain itu
lalu menghisap sayap yang berwarna ungu dengan saputta-nya. Setelah itu, ia segera bersumbunyi di balik pohon.
Hari sudah
siang. Saatnya para bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Mereka pun segera
naik ke darat. Alangkah terkejutnya salah seorang dari mereka ketika hendak
mengenakan pakaiannya.
“Kakak! Apakah
kalian melihat sayapku?” tanya bidadari itu.
Rupanya,
bidadari yang kehilangan sayapnya itu adalah bidadari bungsu.
“Memang kamu
letakkan di mana, Adikku?” tanya bidadari sulung.
“Adik
meletakkannya di atas batu ini bersama sayap kalian,” jawab si bungsu mulai
cemas.
“Wah,
jangan-jangan sayapmu diterbangkan angin,” imbuh bidadari yang nomor dua.
“Kalau begitu,
ayo kita cari-cari bersama-sama di sekitar tempat ini!” seru bidadari sulung.
Ketujuh
bidadari tersebut sudah mencari di sekitar telaga, namun sayap si bungsu belum
juga mereka temukan. Karena hari sudah semakin siang, akhirnya enam bidadari
yang lain harus segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan kami,
Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu sendirian di sini,” ujar bidadari yang
sulung.
“Jangan
tinggalkan Adik, Kakak! Adik takut tinggal di sini seorang diri,” kata bidadari
bungsu mengiba.
“Maafkan kami,
Bungsu! Kami tidak bisa berlama-lama di tempat ini, nanti ayahanda marah,”
imbuh bidadari lainnya.
Akhirnya,
keenam bidadari tersebut terpaksa meninggalkan si bungsu di bumi. Bidadari
bungsu pun tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis dan meratapi nasibnya
yang malang. Manusia Ketam yang tidak tega melihat bidadari bungsu itu terus
menangis, terpaksa keluar dari persembunyiannya. Ia lalu menghampiri bidadari
bungsu dan menyapanya.
“Hai, gadis
cantik! Kenapa kamu menangis?” tanya Manusia Ketam seolah-olah tidak mengetahui
penyebab kesedihan bidadari cantik itu.
“Sayapku
hilang, Tuan,” jawab putri bungsu sambil menangis tersedu-sedu, “Apakah Tuan
melihat sayap saya?”
Manusia Ketam
tersenyum dan kemudian mengatakan bahwa sayap itu ada pada dirnya.
“Maaf, putri
cantik! Akulah yang mengambil sayapmu. Aku akan mengembalikannya kepadamu tapi
dengan satu syarat,” ujar Manusia Ketam.
“Apakah
syaratmu itu, Tuan?” tanya Bidadari Bungsu.
“Kamu sungguh
cantik dan mempesona. Maukah kamu menjadi istriku?” ungkap Manusia Ketam.
Bidadari Bungsu
terdiam. Ia merasa bahwa syarat itu sungguhlah berat baginya karena ia tidak
akan mungkin tinggal di bumi. Kedua orang tuanya pasti akan murka kepadanya.
Namun karena Manusia Ketam terus menekan dan mengancam tidak akan menyerahkan
sayap itu kepadanya, akhirnya ia terpaksa memenuhi syarat tersebut.
“Baiklah, Tuan.
Aku terima syaratmu, tapi kamu juga harus memenuhi satu syarat dariku,” ujar
Bidadari Bungsu.
“Apakah
syaratmu itu, Putri? Katakanlah!” desak Manusia Ketam.
“Setelah kita
menikah nanti, kamu harus ikut bersamaku kembali ke Kahyangan,” jawab Bidadari
Bungsu.
“Ha, hanya
itukah syaratmu Tuan Putri?” tanya Manusia Ketam, “Dengan senang hati, aku
bersedia tinggal bersamamu di Negeri Kahyangan”.
Akhirnya,
Manusia Ketam dan Bidadari Bungsu menikah. Setelah itu, keduanya terbang
bersama menuju ke Negeri Kahyangan. Mereka tiba di sana saat malam sudah larut.
Manusia Ketam terheran-heran melihat sebuah pemandangan yang sangat
mengagumkan. Tampak sebuah kota yang terang benderang oleh lampu berkelap-kelip
dengan sangat indah. Di tengah kota itu berdiri sebuah istana yang amat megah
dan luas. Di depan istana terdapat jalan raya yang luas dan bersih. Jalan raya
itu terlihat ramai oleh lalu-lalang orang yang lewat. Mereka pun kemudian beristirahat
di sebuah kamar yang luas dan indah di dalam istana.
Keesokan hari,
Manusia Ketam sangat heran karena kota yang semalam dilihatnya telah berubah
menjadi sebuah pohon yang amat besar. Orang-orang yang lalu-lalang pun berubah
menjadi burung, termasuk istrinya. Manusia Ketam bersama burung-burung tersebut
tinggal di atas pohon. Pagi itu, bidadari bungsu yang telah menjelma menjadi
burung terbang mencari makan, sedangkan Manusia Ketam tetap berada di pohon itu
menunggu istrinya pulang. Begitu malam tiba, pohon besar itu kembali berubah
menjadi kota. Keadaan seperti itu terus berlangsung setiap hari sehingga
lama-kelamaan Manusia Ketam menjadi terbiasa.
Suatu hari,
bidadari bungsu mengandung. Ia pun segera menyampaikan berita gembira itu
kepada suaminya.
“Kanda, kini
Dinda telah mengandung,” ungkap bidadari bungsu, “Tapi, setelah anak kita lahir
nanti, Dinda meminta Kanda untuk berjanji.”
“Berjanji untuk
apa Dinda?” tanya Manusia ketan dengan penasaran.
“Kanda harus
berjanji untuk tidak melihat anak kita setelah lahir nanti,” jawab bidadari
bungsu.
“Kenapa Dinda?
Bukankah dia itu anak Kanda juga?” tanya Manusia Ketam dengan heran.
“Ketahuilah,
Kanda! Tidak seorang pun manusia yang boleh tinggal di negeri ini. Oleh karenya,
Kanda harus memenuhi janji itu. Jika tidak, Kanda dan anak kita akan diusir
dari negeri ini,” jelas Bidadari Bungsu.
Akhirnya,
Manusia Ketam pun berjanji untuk memenuhi permintaan istrinya. Beberapa bulan
kemudian, Bidadari Bungsu pun melahirkan. Meski demikian, Manusia Ketam tidak
bisa meluapkan perasaan bahagianya karena ia tidak boleh melihat darah
dagingnya sendiri. Hatinya pun diselimuti oleh rasa penasaran yang amat dalam.
Suatu hari,
ketika istrinya sedang pergi mencari makan, Manusia Ketam secara diam-diam
menengok ke tempat anaknya diletakkan. Tanpa diduga, ternyata ia hanya
mendapati sebutir telur besar di tempat itu. Ia pun semakin penasaran. Telur
itu kemudian diambil lalu diamatinya secara seksama. Setelah itu, telur
tersebut ia kembalikan ke tempatnya karena takut ketahuan istrinya. Namun, saat
ia meletakkan telur itu tidak lagi seperti posisinya semula.
Tak berapa lama
kemudian, bidadari bungsu telah kembali. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat
posisi telur itu telah berubah.
“Wah, suamiku
pasti telah menyentuh telur ini,” gumamnya.
Bidadari Bungsu
sangat marah karena mengetahui suaminya telah melanggar janji. Tanpa
bertanya-tanya lagi, ia kemudian melemparkan suami dan anaknya yang berwujud
telur itu ke bumi. Keduanya pun jatuh di atas tanah Kepulauan Talaud, tempat
asal Manusia Ketam semula. Tak ayal, telur itu pun pecah. Sungguh sebuah
peristiwa yang ajaib. Dari dalam telur itu keluar seorang bayi perempuan mungil
yang amat cantik. Akhirnya, Manusia Ketam pun merawat bayi itu dengan penuh
kasih sayang hingga dewasa. Menurut keyakinan masyarakat setempat, perempuan
itulah yang kemudian menurunkan orang-orang di Kepulauan Talaud.
*
* *
Demikian cerita
Alamona
n'Tautama n'Taloda: Manusia Pertama di Kepulauan Talaud, dari daerah Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara. Cerita di atas
termasuk kategori mitos yang di dalamnya terkandung pesan-pesan moral. Salah
satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang
suka mengingkari janji seperti Manusia Ketam akan mendapatkan akibat dari
pengingkaran tersebut. Ia dilemparkan oleh istrinya dari Kahyangan karena telah
mengingkari janji untuk tidak melihat bayinya. Akibatnya, ia pun berpisah
dengan sang istri yang cantik jelita itu.
Pelajaran lain yang terkandung dalam cerita di atas adalah
bahwa segala sesuatu yang diperoleh dengan cara yang tidak jujur, maka sesuatu
itu akan mudah lenyap. Manusia Ketam berhasil menikahi bidadari bungsu karena
ketidakjujurannya, yaitu dengan cara menyembunyikan sayap bidadari bungsu. Dengan
sayap itu, ia kemudian memaksa bidadari untuk menikah dengannya. Dari sini
dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa bidadari bungsu bersedia menikah dengan
Manusia Ketam karena terpaksa, bukan berdasarkan cinta dan kasih sayang yang
tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar