Selasa, 19 November 2013

BERKAWAN AKRAB DENGAN GUNUNG AWU


Bagi warga kampung di sekitar Kecamatan Tabukan Utara dan Kecamatan Kendahe/Kendar, Gunung Awu (1320 mdpl) merupakan “sosok “ yang menakutkan. Bagaimana tidak, setiap letusannya adalah bagian sejarah dari kehidupan mereka secara turun menurun. Tidak terkecuali bagi warga Kampung Bahu, Kecamatan Tabukan Utara, Sulawesi Utara, yang berada 6 km dari gunung tersebut.
Sulung Bakari, 57, generasi kelima fam Bakari yang juga merupakan tetua adat di desa ini menceritakan, Desa Bahu didirikan buyutnya (Sulung Bakari I) setelah letusan Gunung Awu di tahun 1892.
“Opa (ayah-red) bercerita, buyut kami yang asal Talawid membuka ladang di sebuah bukit yang tidak jauh dari kaki Gunung Awu, yang mereka sebut Behu (hutan). Tapi karena letusan tahun 1892, ladangnya hangus terbakar lahar,” ungkap Sulung.
Bahkan hutan bakau pun tertimbun endapan lahar hingga akhirnya  menjadi daratan. Beberapa tahun setelah itu keluarga buyutnya mendirikan desa di sana. Lahirlah Kampung Bahu, artinya : Baru. Dalam catatan sejarah yang diketahui dari tahun 1640 hingga 1966, telah terjadi setidaknya 12 kali letusan besar. Lima diantaranya menelan korban serta kerugian materi yang cukup besar. Korban manusia yang tewas akibat letusan Gunung Awu sebelum 1711 tidak diketahui, namun tercatat sejak tahun 1711 sampai dengan letusan 1966 mencapai 7.377 orang. 
Masih diingat benar oleh Sulung Bakari, letusan Gunung Awu pada 12 Agustus 1966 pukul 08.20. Saat itu usianya 12 tahun. Keluarga besarnya dikumpulkan oleh Opanya di rumah besar keluarga.
“Dunia seperti akan kiamat. Bumi bergoncang, dan suara gemuruh dari puncak seperti pesawat-pesawat tempur yang siap menembak. Sangat menciutkan hati. Tidak berapa lama suara itu terhenti, namun satu jam kemudian terdengarlah suara ledakan dahsyat di puncak. Baik warga muslim dan kristen  berlindung di mesjid atau gereja,”
cerita Sulung lagi.


“Rumah tuhan” adalah tempat yang dirasakan warga sebagai tempat aman untuk berlindung. Para ibu memeluk anak-anak mereka. Hawa panas juga dirasakan hingga di dalam mesjid dan gereja. Mereka tidak henti memanjatkan doa mohon perlindungan.

Untunglah bagi warga Bahu, awan panas Gunung Awu mengarah ke bukit-bukit utara menjauhi kampung mereka. Namun saat itu ada sembilan warganya yang tidak sempat menyelamatkan diri tewas oleh lahar saat mereka masih saja berkebun.
Sementara warga kelurahan Angges, Kecamtan Tahuna Barat, Ota, 55, juga menceritakan, saat kejadian, dirinya masih kelas IV SD. Pagi itu dia dan kawannya masih sempat pergi  belajar ke sekolah.
Bahkan sejak Shubuh, ayahnya  sudah berangkat ke kebun, sementara ibu dan adiknya tengah menyuci di sungai. Namun begitu mendengar suara gemuruh dan awan hitam membumbung, mereka semua berlarian dan berusaha mencapai rumah.
“Saya masih sempat melihat ke puncak Gunung Awu. Awan tebal putih kehitam-hitaman bergulung-gulung dan seperti akan meluncur mengejar kami. Kami lari sekencang-kencangnya,” kenang Ota.
Untung bagi Ota dan keluarganya, mereka tiba di rumah dalam waktu berdekatan dan segera mengungsi menuju kota Tahuna. Seingat Ota, tidak pernah ada informasi yang jelas dan perintah mengungsi dari aparat desa.  Pemerintah baru memberikan respon untuk menolong penduduk menjelang sore.
Akibat dari letusan Gunung Awu tahun 1966tercatat  39 orang tewas dan lebih dari 1.000 orang luka ringan. Masyarakat harus mengungsi selama setahun yang ditampung di sekolah-sekolah kota Tahuna atau desa-desa yang lokasinya aman.
Tanda-tanda alam
Sebenarnya warga desa sekitar Gunung Awu, termasuk warga Desa Bahu, tahu benar tentang tanda-tanda alam Gunung Awu akan meletus. Tanda-tanda alam yang dimaksud adalah, hewan-hewan di dalam hutan sekitar Gunung Awu akan turun guna mencari tempat yang lebih aman. Hal itu menandakan hawa di sekitar Gunung mulai panas dan tidak aman lagi untuk dihuni.
Tanda lainnya adalah air sungai di sekitar gunung juga berubah rasa. Sebagian seperti terasa belerang. Satu kilometer dari dari kawah ada sumber mata air yang juga sering dijadikan sebagai salah satu penanda letusan. Jika air tersebut kering, maka itu bertanda gunung akan meletus. Hal ini terjadi juga pada letusan di tahun 2004 (8-9 Juni 2004). Jika air tersebut kering maka itu bertanda gunung akan meletus. Letusan 2004 ditandai dengan muncul lumpur di tengah kawah, yang kemudian bercabang. Masyarakat sekitar gunung Awu juga percaya jika mata air itu tertutup kubah maka semakin dekat waktu letusannya.
Masyarakat juga menandai ketika Gunung Awu akan meletus maka di pantai dekat desa akan bermunculan hewan laut berduri yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan seloai (sejenis hewan laut bulu babi). Tanda-tanda ini biasanya tidak bermunculan sekaligus, namun selalu ada dalam kurun waktu sebulan sebelum Gunung Awu benar-benar akan meletus.
Namun munculnya tanda-tanda ini biasanya diketahui oleh kalangan tertentu, yaitu para tetua adat, elit desa dan kuncen gunung. Pembahasan terkait tanda tersebut tidak pernah menjadi konsumsi publik. Menurut Sulung, hal ini disebabkan “Raja” (pejabat kecamatan desa di tahun 1966) melarang tetua adat menyampaikan informasi itu kepada masyarakat.
“Opa saya bercerita, saat dia akan mengumumkan tanda-tanda alam Gunung Awu akan meletus kepada masyarakat, Raja malah memanggilnya. Beliau malah dianggap telah me-nimbulkan keresahan dan kepanikan di masyarakat,” jelas Sulung.
Akhirnya masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang memadai, atau melakukan persiapan menghadapi kemungkinan terburuk. Tapi sebagian masyarakat ada yang mengetahui informasi ini dan secara diam-diam mengikuti cara ayahnya dalam  mempersiapkan diri menghadapi letusan Gunung Awu.
Persiapan diri yang dimaksud adalah, keluarga besar fam Bakari mulai dikumpulkan dalam satu rumah di lokasi yang dirasakan aman dan jauh dari bahaya letusan Gunung Awu. Selama sebulan, mereka mengolah sagu untuk dipadatkan (yang disebut pineda). Sagu yang dipadatkan itu disimpan dalam satu wadah untuk persiapan selama beberapa bulan ke depan.
Saat Gunung Awu akan meletus di tahun 2004, keterbukaan informasi tentang tanda-tanda alam itu memang sampai kepada masyarakat. Namun tidak pernah ada perintah yang jelas tentang apa saja yang harus dilakukan masyarakat dalam menghadapinya. 
Saat itu memang telah ada koordinasi antara aparat desa, tetua adat dan kuncen gunung, tapi dilakukan secara informal. Kuncen Gunung secara rutin memantau perkembangan Gunung Awu dan melaporkannya kepada elit desa, terutama kepada Kapitalaung.
“Tapi informasi ini tidak pernah digunakan untuk kepentingan persiapan menghadapi kedaruratan bencana. Kami masih buta akan pengetahuan kesiapsiagaan dan kedaruratan. Warga bahkan tidak pernah dilatih dengan simulasi bencana. Jadi bagi yang tahu, yah, melakukan persiapan untuk dirinya sendiri saja,” jelas Suwano Maniku, Kapitalaung Bahu.
Ketika Gunung Awu benar- benar meletus, respon kedaruratan pun serba terlambat dilakukan. Aparat desa kebingungan dalam melakukan koordinasi dengan kecamatan. Begitu sebaliknya. Ironisnya,  ketika mereka akan melakukan evakuasi, rumah-rumah telah kosong ditinggalkan warganya mengungsi untuk menyelamatkan dirinya.
Pembelajaran berharga
Peristiwa tahun 1966 dan 2004 kini menjadi bahan pembelajaran berharga bagi warga Kampung Bahu. Terlebih sejak 2009 program Building Resilience (Ketahanan Masyarakat Terhadap Bencana) di dorong oleh Kelola (Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam) dan di dukung penuh oleh Oxfam serta Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia, masuk ke Bahu,
Bahu adalah satu dari 14 kampung di Kecamatan Tabukan Utara, Tahuna, Tahuna Barat dan Kandahe, yang mendapatkan pengetahuan dan pelatihan tentang PRB (Pengurangan Resiko Bencana). Masyarakat Bahu kini jauh lebih siap dalam memaknai hidup bersama Gunung Awu, tsunami, angin kencang dan gempa.
“Kami tidak akan pindah dari tempat ini. Juga tidak lagi takut dan khawatir jika ancaman itu datang. Karena kami sudah dibekali pengetahuan dan ketrampilan yang baik. Kami hanya berharap, pemerintah juga peduli soal ini. Sebab kami tidak bisa melakukannya sendirian,” tandas Suwano.