Selasa, 19 November 2013

BERKAWAN AKRAB DENGAN GUNUNG AWU


Bagi warga kampung di sekitar Kecamatan Tabukan Utara dan Kecamatan Kendahe/Kendar, Gunung Awu (1320 mdpl) merupakan “sosok “ yang menakutkan. Bagaimana tidak, setiap letusannya adalah bagian sejarah dari kehidupan mereka secara turun menurun. Tidak terkecuali bagi warga Kampung Bahu, Kecamatan Tabukan Utara, Sulawesi Utara, yang berada 6 km dari gunung tersebut.
Sulung Bakari, 57, generasi kelima fam Bakari yang juga merupakan tetua adat di desa ini menceritakan, Desa Bahu didirikan buyutnya (Sulung Bakari I) setelah letusan Gunung Awu di tahun 1892.
“Opa (ayah-red) bercerita, buyut kami yang asal Talawid membuka ladang di sebuah bukit yang tidak jauh dari kaki Gunung Awu, yang mereka sebut Behu (hutan). Tapi karena letusan tahun 1892, ladangnya hangus terbakar lahar,” ungkap Sulung.
Bahkan hutan bakau pun tertimbun endapan lahar hingga akhirnya  menjadi daratan. Beberapa tahun setelah itu keluarga buyutnya mendirikan desa di sana. Lahirlah Kampung Bahu, artinya : Baru. Dalam catatan sejarah yang diketahui dari tahun 1640 hingga 1966, telah terjadi setidaknya 12 kali letusan besar. Lima diantaranya menelan korban serta kerugian materi yang cukup besar. Korban manusia yang tewas akibat letusan Gunung Awu sebelum 1711 tidak diketahui, namun tercatat sejak tahun 1711 sampai dengan letusan 1966 mencapai 7.377 orang. 
Masih diingat benar oleh Sulung Bakari, letusan Gunung Awu pada 12 Agustus 1966 pukul 08.20. Saat itu usianya 12 tahun. Keluarga besarnya dikumpulkan oleh Opanya di rumah besar keluarga.
“Dunia seperti akan kiamat. Bumi bergoncang, dan suara gemuruh dari puncak seperti pesawat-pesawat tempur yang siap menembak. Sangat menciutkan hati. Tidak berapa lama suara itu terhenti, namun satu jam kemudian terdengarlah suara ledakan dahsyat di puncak. Baik warga muslim dan kristen  berlindung di mesjid atau gereja,”
cerita Sulung lagi.


“Rumah tuhan” adalah tempat yang dirasakan warga sebagai tempat aman untuk berlindung. Para ibu memeluk anak-anak mereka. Hawa panas juga dirasakan hingga di dalam mesjid dan gereja. Mereka tidak henti memanjatkan doa mohon perlindungan.

Untunglah bagi warga Bahu, awan panas Gunung Awu mengarah ke bukit-bukit utara menjauhi kampung mereka. Namun saat itu ada sembilan warganya yang tidak sempat menyelamatkan diri tewas oleh lahar saat mereka masih saja berkebun.
Sementara warga kelurahan Angges, Kecamtan Tahuna Barat, Ota, 55, juga menceritakan, saat kejadian, dirinya masih kelas IV SD. Pagi itu dia dan kawannya masih sempat pergi  belajar ke sekolah.
Bahkan sejak Shubuh, ayahnya  sudah berangkat ke kebun, sementara ibu dan adiknya tengah menyuci di sungai. Namun begitu mendengar suara gemuruh dan awan hitam membumbung, mereka semua berlarian dan berusaha mencapai rumah.
“Saya masih sempat melihat ke puncak Gunung Awu. Awan tebal putih kehitam-hitaman bergulung-gulung dan seperti akan meluncur mengejar kami. Kami lari sekencang-kencangnya,” kenang Ota.
Untung bagi Ota dan keluarganya, mereka tiba di rumah dalam waktu berdekatan dan segera mengungsi menuju kota Tahuna. Seingat Ota, tidak pernah ada informasi yang jelas dan perintah mengungsi dari aparat desa.  Pemerintah baru memberikan respon untuk menolong penduduk menjelang sore.
Akibat dari letusan Gunung Awu tahun 1966tercatat  39 orang tewas dan lebih dari 1.000 orang luka ringan. Masyarakat harus mengungsi selama setahun yang ditampung di sekolah-sekolah kota Tahuna atau desa-desa yang lokasinya aman.
Tanda-tanda alam
Sebenarnya warga desa sekitar Gunung Awu, termasuk warga Desa Bahu, tahu benar tentang tanda-tanda alam Gunung Awu akan meletus. Tanda-tanda alam yang dimaksud adalah, hewan-hewan di dalam hutan sekitar Gunung Awu akan turun guna mencari tempat yang lebih aman. Hal itu menandakan hawa di sekitar Gunung mulai panas dan tidak aman lagi untuk dihuni.
Tanda lainnya adalah air sungai di sekitar gunung juga berubah rasa. Sebagian seperti terasa belerang. Satu kilometer dari dari kawah ada sumber mata air yang juga sering dijadikan sebagai salah satu penanda letusan. Jika air tersebut kering, maka itu bertanda gunung akan meletus. Hal ini terjadi juga pada letusan di tahun 2004 (8-9 Juni 2004). Jika air tersebut kering maka itu bertanda gunung akan meletus. Letusan 2004 ditandai dengan muncul lumpur di tengah kawah, yang kemudian bercabang. Masyarakat sekitar gunung Awu juga percaya jika mata air itu tertutup kubah maka semakin dekat waktu letusannya.
Masyarakat juga menandai ketika Gunung Awu akan meletus maka di pantai dekat desa akan bermunculan hewan laut berduri yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan seloai (sejenis hewan laut bulu babi). Tanda-tanda ini biasanya tidak bermunculan sekaligus, namun selalu ada dalam kurun waktu sebulan sebelum Gunung Awu benar-benar akan meletus.
Namun munculnya tanda-tanda ini biasanya diketahui oleh kalangan tertentu, yaitu para tetua adat, elit desa dan kuncen gunung. Pembahasan terkait tanda tersebut tidak pernah menjadi konsumsi publik. Menurut Sulung, hal ini disebabkan “Raja” (pejabat kecamatan desa di tahun 1966) melarang tetua adat menyampaikan informasi itu kepada masyarakat.
“Opa saya bercerita, saat dia akan mengumumkan tanda-tanda alam Gunung Awu akan meletus kepada masyarakat, Raja malah memanggilnya. Beliau malah dianggap telah me-nimbulkan keresahan dan kepanikan di masyarakat,” jelas Sulung.
Akhirnya masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang memadai, atau melakukan persiapan menghadapi kemungkinan terburuk. Tapi sebagian masyarakat ada yang mengetahui informasi ini dan secara diam-diam mengikuti cara ayahnya dalam  mempersiapkan diri menghadapi letusan Gunung Awu.
Persiapan diri yang dimaksud adalah, keluarga besar fam Bakari mulai dikumpulkan dalam satu rumah di lokasi yang dirasakan aman dan jauh dari bahaya letusan Gunung Awu. Selama sebulan, mereka mengolah sagu untuk dipadatkan (yang disebut pineda). Sagu yang dipadatkan itu disimpan dalam satu wadah untuk persiapan selama beberapa bulan ke depan.
Saat Gunung Awu akan meletus di tahun 2004, keterbukaan informasi tentang tanda-tanda alam itu memang sampai kepada masyarakat. Namun tidak pernah ada perintah yang jelas tentang apa saja yang harus dilakukan masyarakat dalam menghadapinya. 
Saat itu memang telah ada koordinasi antara aparat desa, tetua adat dan kuncen gunung, tapi dilakukan secara informal. Kuncen Gunung secara rutin memantau perkembangan Gunung Awu dan melaporkannya kepada elit desa, terutama kepada Kapitalaung.
“Tapi informasi ini tidak pernah digunakan untuk kepentingan persiapan menghadapi kedaruratan bencana. Kami masih buta akan pengetahuan kesiapsiagaan dan kedaruratan. Warga bahkan tidak pernah dilatih dengan simulasi bencana. Jadi bagi yang tahu, yah, melakukan persiapan untuk dirinya sendiri saja,” jelas Suwano Maniku, Kapitalaung Bahu.
Ketika Gunung Awu benar- benar meletus, respon kedaruratan pun serba terlambat dilakukan. Aparat desa kebingungan dalam melakukan koordinasi dengan kecamatan. Begitu sebaliknya. Ironisnya,  ketika mereka akan melakukan evakuasi, rumah-rumah telah kosong ditinggalkan warganya mengungsi untuk menyelamatkan dirinya.
Pembelajaran berharga
Peristiwa tahun 1966 dan 2004 kini menjadi bahan pembelajaran berharga bagi warga Kampung Bahu. Terlebih sejak 2009 program Building Resilience (Ketahanan Masyarakat Terhadap Bencana) di dorong oleh Kelola (Kelompok Pengelola Sumber Daya Alam) dan di dukung penuh oleh Oxfam serta Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia, masuk ke Bahu,
Bahu adalah satu dari 14 kampung di Kecamatan Tabukan Utara, Tahuna, Tahuna Barat dan Kandahe, yang mendapatkan pengetahuan dan pelatihan tentang PRB (Pengurangan Resiko Bencana). Masyarakat Bahu kini jauh lebih siap dalam memaknai hidup bersama Gunung Awu, tsunami, angin kencang dan gempa.
“Kami tidak akan pindah dari tempat ini. Juga tidak lagi takut dan khawatir jika ancaman itu datang. Karena kami sudah dibekali pengetahuan dan ketrampilan yang baik. Kami hanya berharap, pemerintah juga peduli soal ini. Sebab kami tidak bisa melakukannya sendirian,” tandas Suwano.


KERAJAAN KENDAHE DAN SEKITARNYA


Dari perspektif dinamika kependudukan, Tampungan Lawo atau Sangihe Besar pantas dicatat. Karena di pulau inilah sebagai akibat dinamika politik, sosial dan budaya penduduknya diduga sejak abad 15 muncul pemerintahan lokal/tradisional . Pertama kali, dibuktikan lewat catatan jurutulis Magellan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Di Sangihe, Pigafetta mencatat ada empat raja. Dua di Siau dan satu di Tagulandang. Tapi sumber sejarah tiga abad sesudahnya, hasil tulisan F. Valentijn yang datang ke Sangihe awal abad ke-18, menyebut awalnya hanya dua saja kerajaan di Sangihe, yaitu Tabukan dan Kalongan. Menurutnya, nanti kira-kira tahun 1670 muncul sembilan kerajaan di Sangihe, yaitu: Kerajaan Kendahe , Kerajaan Taruna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kauhis, Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan, Kerajaan Sawang (Saban) dan Kerajaan Tamako.
Namun, kemudian kerajaan yang terakhir (Tamako) menjadi bagian Siau. Sementara, Raja Limau ditumpas pasukan kiriman Padtbrugge. Kerajaan ini hancur lebur. Dan, Sawang bergabung dengan Kerajaan Taruna dan Kerajaan Kolongan. Sedangkan Kauhis bergabung dengan Manganitu.
Pada tahun 1898 Kerajaan Kendahe dan Kerajaan Taruna digabung menjadi satu. Di dua wilayah inilah tahun 1919 Raja Soleman Ponto memerintah dengan pusatnya di Kota Tahuna kini. Artinya, pada tahun 1900-an tersisa empat kerajaan saja: Tabukan, Manganitu, Siau dan Kendahe-Taruna.
Terkait dengan hubungan keluar, dua kerajaan awal, Tabukan dan Kendahe di Sangihe Besar, kental mendapat pengaruh sistem kekuasaan di Sulu dan Mindanao (Filipina). Meski kalau ditelaah seksama semua silsilah raja-raja Sangihe-Talaud, Siau, Bawontehu (Manado) dan para keturunan Mokoduluduk lain praktis semua terkait kawin-mawin dengan para penguasa di Mindanao.
Sebuah karya sastra lisan (bansil) wilayah Tabukan membeberkan nama-nama kerajaan (yang diberi garis bawah) sekaligus raja-rajanya yang pernah dikenal masyarakat Sangihe. Kutipan dari karya sastra khas bansil ini ditampilkan dalam ejaan asli van Ophuisen. Kata ’Soe‘ (atau dibaca ‘su’) berarti ‘di’. Kata, ‘’I” sebagai kata penunjuk orang. Taoe atau tau artinya orang atau anak.
‘’Soe Manaro i Laloda, Soe Wenang i Donangbala,
Soe Tahoelandang i Pako, Madolokang i Tamoengkoe.
Soe Siaoew i Mohonise, soe Pehe i Winsoelangi
Soe Tamako i Kakalang,
Soe Manganitu i Tolo, Mahoeboengan i Tompolioe,
Soe Tahoena i Woentoeang, Malahasang i Poeloentoembage,
Soe Kalongan i Tatehe taoe maka Tehe woba,
Soe Kendahe i Hioeng, Malinkaheng i Wagania,
Soe Talawide i Poeko, taoe Pepoekoliwoetang,
Soe Sawang i Rodoti, Welengang i Pontolawokang,
Soe Sahabe i Matali , Sohowang i Pangaloreloe
Soe Tawoekang i Hama, Rimpoelaeng i Woeateng
Soe Loemaoege i Taboei, Kaloesada i Ratoengboba
Soe Koema i Kolowoba
Soe Koeloehe i Makakoeheting soe Pako Woelele
Soe Manaloe i Loemampoe Tonggentoelang i Megenoe
Soe Moade I Kansile Manoewo I Ongkedio’’21
Sebelum disebut sebagai raja, pemimpin komunal mendapat gelar ‘datu’. Alex Ulaen menyebutkan dalam beberapa bukunya, kedatuan merupakan awal dari sistem kepemimpinan komunal (proto pemerintahan). Sistem ini pantas diduga sebagai pengaruh Islam yang tersebar dari Malaka (Melayu). Di Sangihe salah satu titik masuk Islam adalah dari Utara, yaitu Sulu dan Mindanao. Di Filipina, misalnya, Syarif Kabungsuan atau Syarif Muhammad, sang pembawa Islam di Sulu sekaligus dikenal sebagai pembentuk sistem kedatuan pertama di Maguindano Mindanao. Kata ‘datu’ merupakan kata Melayu lama. Islam awal dari wilayah Mindanao terkait dengan jaringan Persia.
Kerajaan Tabukan disebut merupakan kerajaan tertua di abad ke-15 di Sangihe dan Talaud.22 Meski menurut sebuah kajian yang diterbitkan Kyoto University,23 sebelum itu sudah muncul beberapa kedatuan, baik di bawah pimpinan datu dan pemimpin yang bergelar kulano.
Sebelum kemunculan kedatuan di Tabukan, kajian Alex Ulaen et al menyebut kiprah awal Bowontehu yang terkait dengan tokoh sentral Mocoduludugh (Mokoduludut).24 Wilayahnya meliputi pulau-pulau sekitar teluk Manado, pesisir Utara pantai Sulawesi Utara. Molibagu, Bentenan dan wilayah Ratahan.
Dalam catatan beberapa dokumen, rombongan pimpinan Mokoduludugh melakukan perjalanan dari Molibagu dan mengelilingi tempat-tempat di Bolaang Mongondow, Minahasa, lantas ke pulau Lembeh, dan kembali ke daerah sekitar kaki gunung api Lokon.
Kemudian rombongan itu mendiami tempat yang diberi nama Bentenan, dan akhirnya ke pulau Manaro (Manado Tua). Tempat akhir ini sering dikaitkan sebagai lokasi Kerajaan Bowontehu sampai pasca kedatangan pihak Portugis.
Seorang tokoh bernama Lokongbanua II, yang juga keturunan Mokodulut, tercatat pergi dari Bawontehu ke pulau Siau dan mendirikan Kerajaan Siau. H.B. Elias menyebut tahun pendiriannya adalah 1510. Kerajaan ini berpusat di kediaman Lokongbanua II di Kakutungan
Kerajaan Tabukan yang disebut merupakan bentuk kerajaan awal di kawasan SaTaS sering dikaitkan dengan kiprah dua tokoh, pertama Gumansalangi. Sedang, tokoh legendaris kedua bernama Makaampo Wawengehe.
Gumansalangi disebut sebagai tokoh yang mendirikan kedatuan Tampungan Lawo atau Tabukan antara tahun 1300-1350 yang wilayahnya meliputi Sangihe dan wilayah Filipina Selatan. Tokoh ini dikisahkan asalinya adalah pangeran dari seorang sultan di Mindanao Selatan.
Menurut cerita, pangeran Gumansalangi dihukum ayahnya dan dibuang dalam hutan. Di situ malah dia bertemu Sangiangasa atau Kondawulaeng, seorang puteri kayangan yang lantas jadi istrinya. Keduanya menunaikan hukuman dibuang dengan menaiki kendaraan gaib, seekor ular besar, ke tempat yang akan ditandakan dengan deru guntur dan kilatan petir silih berganti.
Setelah singgah di beberapa tempat di antaranya pulau dan gunung bagian Selatan SaTaS, yang disebut adalah Tagulandang dan Siau, akhirnya keduanya tiba di puncak gunung Sahendarumang.
Ketika berada di atas gunung Sahendaruman (di pulau Sangihe) keduanya mendengar guruh-gemuruh guntur dan singsing menyingsing petir. Itu adalah pertanda yang diberikan ayah Gumansalangi bahwa mereka sudah tiba di tujuan. Keduanya pun lantas turun ke pemukiman penduduk dan di sana Gumansalangi dijuluki sebagai Medellu (guntur) sedang Sangiangasa sebagai Sangiangkila (Puteri Kilat).
Datu Gumansalangi mempunyai dua anak, Melintangnusa dan Melikunusa. Melikunusa berlayar ke Selatan dan tiba di Mongondow. Dia mengawini Monongsangiang, putri Mongondow. Dan wafat di sana. Sebaliknya, Melintangnusa menggantikan ayahnya sebagai datu kedua (1350-1400). Dia banyak kali berkunjung ke Filipina Selatan dan bahkan meninggal di sana.
Kedatuan ini sepeninggal Gumansalangi dibagi menjadi dua, yaitu: Kedatuan Sahabe di bagian Utara dan Kedatuan Salurang di Selatan.
Tokoh kedua yang juga penting berkaitan dengan Tabukan adalah Makaampo Wawengehe. Penguasa kelahiran Rainis, Talaud, yang pada masa kanak-kanak ditinggal mati ayahnya. Dia kemudian diasuh di rumah dua pamannya di Salurang (Sangihe). Makaampo pada saat dewasa menyatukan kembali kedatuan Salurang dan Sahabe dan memerintah di sini antara 1530-1575. Daerahnya meliputi: Sahabe, Tabukan, Lapango, Kuma, Kuluhe, Manalu dan Salurang. Kerajaan ini masih eksis saat kedatangan bangsa-bangsa Barat (Portugis, Spanyol, Belanda) meski sudah diperintah generasi raja berikutnya.
Jika dicermati besaran wilayah kerajaan-kerajaan yang disebut-sebut tadi, jelas wilayahnya tidak seberapa luasnya. Misalnya, bila dibanding dengan wilayah kerajaan-kerajan kontinental atau kerajaan maritim besar. Namun realitas ini tidak sedikitpun meri-saukan Nico Makahanap25,, peminat sejarah dan budaya SaTaS. Dia menyatakan, ‘’dibanding dengan kerajaan-kerajaan Eropa sezamannya yang kini masih bisa dilihat sisanya, seperti Liechten-stein, Monaco, Andora dan San Marino, wilayah kerajaan-kerajaan di Sangihe-Talaud jelas jauh lebih besar.”
Kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe hingga permulaan abad ke-20 tercatat mencakup wila-yah pulau-pulau Talaud. Tidak terkecuali daratan besar tanalawo. pulau Karakelang, pernah terbagi menjadi bagian wilayah dari kerajaan Tabukan, kerajaan Manganitu, kerajaan Kendahe-Taruna, kerajaan Siau dan kerajaan Tagulandang.26
Tercatat pula ada kerajaan yang ‘wilayahnya’ sampai ke bagian-bagian negara Filipina kini. Kendahe misalnya disebut-sebut dalam beberapa situs di Mindanao sebgai candahar mempunyai wilayah ke Mindanao. Kerajaan ini mula-mula merupakan bagian dari kerajaan Mindanau Tubis.
Adapun wilayah Kerajaan Kendahe setelah pisah dari Tubis meliputi Bahu, Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Kawio, Lipang, Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Bagian yang di Mindanao merujuk pada data Valentijn adalah Coelamang, Daboe (Davao), Ijong, Maleyo, Catil dan Leheyne,
Meski demikian, penting digarisbawahi pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini.Kala itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang lain27. Sedang, kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar dalam tulisannya ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para elit pemimpin.
Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Tabukan, menurut dokumen dari Kerajaan Tabukan tahun 1927, jabatan setingkat di bawah raja adalah, jogugu. Sedang, di tingkat kampung ada pemimpin yang disebut kapitalaung (di Sangihe) atau apitalau (di Talaud) dan kapitalau (di Sitaro).
Menurut J. Makasangkil, kata capita atau kepala dalam bahasa Spanyol dan Porto, di kawasan SaTaS diartikan sebagai jabatan pemimpin orang banyak (lawo) atau pemimpin untuk sebuah ikatan (lawung= ikatan) atau lau (himpunan berbagai campuran). Jabatan ini diberikan pada pemuka yang karena kecakapannya mampu mengikat atau mempersatukan masyarakat sebagai satu kesatuan hukum; memelihara keutuhan serta adat.
Di bawah kapitalaung ada hukum mayor dan hukum. Di kampung juga ada jabatan yang menangani urusan pengadilan, yaitu disebut kapitan bisara, yaitu jaksa. Kewajibannya adalah menyampaikan dakwaan dan membawa terdakwa ke hadapan majelis pengadilan.
Untuk urusan mengadili dipilih seorang hukum mayor yang dilantik menjadi hulu hakim majelis, sedang raja, jogugu, kapitanglaung,hukum mayor serta hukum berlaku sebagai anggota majelis. Kemudian hari dokumen Belanda Mededelingen 1912 membeberkan kuasa pengadilan dipegang semata oleh raja dan penguasa kolonial.
Adapula jabatan yang secara khusus mengelola pelabuhan. Bergelar syahbandare. Pejabat ini mengatur lalu lintas masuk keluar kapal. Termasuk, menjemput tamu sekaligus menghadapi segala bahaya yang masuk via pelabuhan.
Jabatan syahbandar ini, pertama, pantas diduga merupakan pengaruh sistem pengelolaan pelabuhan yang diadopsi dari kerajaan-kerajaan Islam-Melayu, semacam Malaka yang memang paling terkenal dan menjadi patron perdagangan Nusantara sebelum kedatangan Portugis. Kata ini bisa saja diserap via Ternate di Tabukan.Pemakaian kata itu merupakan bukti kuat pengaruh jaringan dagang ke Malaka. Sebuah konferensi internasional memperingati 500 tahun hubungan historis Indonesia-Portugis pada tahun 2000 pernah menampilkan paper Uka Tjandrasasmita yang detil membedah ihwal perdagangan di pelabuhan-pelabuhan penting sebelum kedatangan Portugis di Goa (1498) dan Malaka (1511). Di dalam tulisan berjudul ’The Indonesian Harbour Cities and the Coming of the Portuguese” konsep syahbandar Malaka sempat diungkap.
Di samping jabatan penguasa pelabuhan itu, kerajaan juga mempunyai bala tentara yang biasanya dikepalai pangeran dan diberi gelar mayore labo atau mayor besar. Di bawahnya ada mayore (mayor), kapita (kapten), lutunani (letnan), ondore adidang (ajudan), aliparese (pembawa bendera), sariang mayore (sersan mayor), sariang dan kaparale (kopral).
Khusus dalam istana Tabukan ada jabatan kapitaratu (kepala rumah tangga istana) dan keneke (juru rasa makanan). Juga ada barisan dayang-dayang yang disebut gunde yang dikepalai pangantaseng. Sedang di tingkat kampung, ada jabatan hakim pemisah, mantri polisi, pemungut cukai, mandor jalan, mantri kerajaan dan ibu-bapa bagi rakyat.28
Sedang di Kerajaan Siau ditemui struktur dan susunan (hirarki) pemerintahan yang secara garis besar serupa dengan yang di Tabukan. Kecuali, sejak tahun 1592, sekembali dari pengungsian di Ternate serta demi menghindari terulangnya serangan pasukan Mindanao sebelumnya, Raja Winsulangi melakukan reformasi pemerintahan.
H.B. Elias, ‘’Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau” mengurai langkah-langkah reformasi itu:Pertama, raja Winsulangi membentuk sebuah dewan pemerintahan tertinggi dengan nama Komolang Bubatong Datu (Majelis Kerajaan Siau). Anggotanya terdiri dari keluarga raja dan bangsawan namun juga keterwakilan tokoh-tokoh masyarakat terkemuka. Dewan dipimpin oleh Presiden Raja yang terus berhubungan dengan Raja dalam pemerintahan hari ke hari. Dewan ini berkewenangan bersidang menentukan dan mengangkat raja. Pada kasus Raja tidak ada dalam jangka lama atau berhalangan, dewan dapat mengambil inisiatif mengangkat Presiden Pengganti Raja. Ini hanya berlaku dalam keadaan genting dan jarang terjadi.
Dewan itu jelaslah menjadi sarana bagi rakyat untuk ikut serta dalam berbagai urusan pemerintahan. Memang Don Jeronimo Winsulangi berniat agar pemerintahan Siau jangan jadi despot dan penguasa tunggal. Karena dewan ini H.B. Elias menyatakan sifat kerajaan sudah konstitusionale monarchi meski sebenarnya itu akibat kebijakan pemerintahan Portugis.
Kedua, setelah berkonsultasi dengan orang-orang Spanyol raja membentuk pertahanan kerajaan, yaitu angkatan perang darat dan laut. Angkatan darat terdiri dari pasukan kompania, upase dan alabadiri. Kompania adalah tentara biasa, sedangkan upase adalah pengawal raja dan labadiri tentara pengawal istana. Pangkat-pangkatnya sama dengan yang ditemukan di Tabukan, dengan bahasa Porto atau Spanyol.
Sedang angkatan lautnya terdiri dari armada perahu perang bininta, konteng dan kora-kora.Angkatan laut dipimpin seorang laksamana, yang saat itu dijabat Laksamana Hengkeng u Naung yang terkenal karena penjelajahannya dari Filipina hingga Leok Buol dengan beberapa daerah tundukan dan wilayah sahabat. Bahkan pernah mengusir pasukan armada Makassar dari Bolaang Mongondow seperti pernah ditulis beberapa penulis Eopa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.
Ketiga, Raja menciptakan panji-panji atau bendera kerajaan. Warnanya secara khusus diturunkan dari dua warna tradisional dalam ritual Siau pada dewa laut (Mawendo) dan darat (Aditinggi), yaitu masing-masing warna merah dan putih. Dua warna ini bagi masyarakat Siau bersifat sakral.
Mungkin, karena itu perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mengusung simbol merah putih Indonesia dengan cepat dan konsisten direspon pejuang-pejuang Indonesia asal Siau yang menjadi partner Soekarno di PNI semacam G.E. Dauhan dan diteruskan para tokoh lain sesudahnya semacam Esly Salekede.
Panji-panji kerajaan Siau ciptaan Winsulangi itu, tampil dalam tiga ukuran dan bentuk. Semuanya disebut sebagai seka-saka. Bendera itu berwarna merah yang dikelilingi bis putih. Bendera ini dipakai terus sampai zaman Belanda. Karena bendera ini, suatu ketika Raja Jacob Ponto dibuang Belanda ke Cirebon. Maklum raja ini tidak mau menurunkan bendera berukuran 80x80 cm di depan istananya. Setelah itu pembuangannya, Belanda sama sekali melarang pengibaran bendera sejensi itu di Siau.
Meski demikian, angkatan perang Siau terus memakainya. Terbukti saat Raja L.N. Kansil yang berangkat ke Tahuna pada tahun 1923 untuk menghadiri perayaan jubelium perak (25 tahun) pemerintahan Ratu Wilhemina. Raja ini memakai bendera itu di perahu kora-koranya dan dengan megah memasuki pelabuhan Tahuna serta disambut secara resmi kala acara itu.
Keempat, urusan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada Jogugu, yang ketika itu dijabat D’Arras (Darras) yang juga adalah ketua presidenti raja. Perpaduan D’Arras dengan Hengkeng U Naung (atau Hengkengnaung) menghasilkan perluasan wilayah Siau dan penumpasan bajak-bajak laut Mindanao di Laut Sulawesi.
Kelima, supaya mendapat kemajuan yang cepat maka para putera kerajaan (Pangeran Batahi) disekolahkan di universitas di Manila di intramuros.

Adapun struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro secara umum dirangkum Steller dalam De Sangi Archipel dengan susunan meliputi jabatan-jabatan:
- Raja
Dibantu Bobato (rijksgroten) atau pembesar istana atau Dewan Raja atau
Presidenti Raja.
- Jogugu
- Presidenti Jogugu (tidak selalu ada)
- Kapten Laut
- Mayore Labo
- Hukum Mayore
- Sadaha Negeri
- Kapitan Bisara
- Sengaji
- Kumelaha
- Sawohi
- Sahbandar
- Marinyo Bisara
- Marinyo Bala
- Marinyo
Sekilas praktik pemerintahannya tidak mengacu pemisahan cabang-cabang kekuasaan atau trias politica, namun mencampurkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun demikian mulai ada pelibatan rakyat dalam kontrol kekuasaan yaitu dalam badan atau dewan raja yang memberi masukan bahkan mengontrol raja. Kontrol itu sangat disadari di Siau sejak Raja Winsulangi. Bahkan di Kerajaan Kendahe pernah pemilihan Raja Makaado (1773-1792) dilakukan lewat pemilihan langsung dan demokratis oleh rakyat.
Negara juga diperlengkapi aparatus militer detil, yaitu angkatan darat dan laut. Dua angkatan ini jelas terkait dengan kebutuhan keamanan dan pertahanan dari berbagai ancaman zaman itu , sekaligus menjadi bukti orientasi maritim kala itu.

Groepsportret met de raja van Manganitoe 1914


Foto ini diambil pada tahun 1914. Tampak Raja Manganitu berpose dengan rakyatnya yang mengenakan baju adat lengkap.

Rumah Raja Manganitu ini masih bisa ditemukan hingga sekarang. Namun sayangnya tidak ada perhatian dari pemerintah dalam rangka merawat aset budaya yang sangat mahal ini.

KERAJAAN SANGIHE TALAUD

Dari perspektif dinamika kependudukan, Tampungan Lawo atau Sangihe Besar pantas dicatat. Karena di pulau inilah sebagai akibat dinamika politik, sosial dan budaya penduduknya diduga sejak abad 12 muncul pemerintahan lokal/tradisional . Pertama kali, dibuktikan lewat catatan jurutulis Magellan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Di Sangihe, Pigafetta mencatat ada empat raja. Dua di Siau dan satu di Tagulandang. Tapi sumber sejarah tiga abad sesudahnya, hasil tulisan F. Valentijn yang datang ke Sangihe awal abad ke-18, menyebut awalnya hanya dua saja kerajaan di Sangihe, yaitu Tabukan dan Kendahe. Menurutnya, nanti kira-kira tahun 1670 muncul sembilan kerajaan di Sangihe, yaitu: Kerajaan Kolongan, Kerajaan Taruna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kauhis, Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan, Kerajaan Sawang (Saban) dan Kerajaan Tamako.

Namun, kemudian kerajaan yang terakhir (Tamako) menjadi bagian Siau. Sementara, Raja Limau ditumpas pasukan kiriman Padtbrugge. Kerajaan ini hancur lebur. Dan, Sawang bergabung dengan Kerajaan Taruna dan Kerajaan Kolongan. Sedangkan Kauhis bergabung dengan Manganitu.
Kerajaan Sahangsowang
Sebelum kerajaan ini berdiri sudah ada kerajaan Apapuang, kemudian diganti dengan Kerajaan Sahangsowang. Kerajaan Sahangsowang adalah kerajaan dari manusia raksasa yang musnah karena letusan Gunung api Awu.

SAMENSI ARANG DAN BULAENG TANDING


              Menurut cerita rakyat Sangihe Talaud bahwa bumi Tampunganglawo yang kini disebut pulau Sangihe Besar, ratusan abad yang lalu, daratannya bersambung dengan pulau-pulau kecil mulai dari p. Lipaeng, p. Kawaluso, p. Matutuang, p. Memanu, p. Komboleng, p. Kawio, p. Marore, dan ujung paling Utara Barat Laut, P. Kaluwulang, p. Marulung (p. Balut)p. Sahenganeng (p. Saranggany). 

Dahulu ketika kerajaan Malinggaheng, berpusat di Makiwulaeng (Kendahe/Talawide) kerajaan ini di perintah oleh raja Samensi Arang menikah dengan putrinya bernama Bulaeng Tanding alhasil kerajaan ini sebagian daratan pulau Sangir tenggelam oleh Dimpuluse (yaitu awan hitam tebal berkumpul jadi satu, lalu jatuh dalam bentuk air yang berat) sehingga daratan menjadi laut, termasuk pulau Kaluwulang diperkirakan tahun 1654 Masehi tenggelam. Sisa-sisa peninggalan kerajaan ini adalah Tajung Maselihe dimana terdapat kursi emas dan makota raja yang terkubur di dasar laut, konon dijaga oleh ikan hiu (Tanggihiang). Pulau sangihe dulu bersambung dengan pulau pulau yang lainya kini dataran tersebut terputus menjadi beberapa pulau kecil. Lokasi tersebut diantara pulau sangihe dan pulau p. marulung (balut)dimana terdapat tandusan napong elise, ada sebuah karang yang menonjol menyerupai pasangan manusia yang sedang bercumbu. 

Cerita rakyat ini sama dengan analisa seorang ahli gunung api, Ir. Hadikoesoemo yang pada tahun 1949 memeriksa keadaan gunung Awu Tahuna-Kolongan. Beliau sementara mendaki ke gunung, lalu menunjuk ke arah Utara dan berkata, bahwa pulau-pulau yang berjejer kebawah itu (maksudnya p. Lipaeng dan seterusnya) zaman dulu kala adalah puncak-puncak gunung tinggi, yang daratannya bersambungan dengan pulau Sangir Besar ini. Ditambahkannya, bahwa bagian yang terbesar daratan, sudah tenggelam ke dasar laut, akibat dari letusan gunung api dahsyat yang terjadi beberapa kali.
Setelah daratan Tampunganglawo bagian Utara Barat Laut tenggelam, di bagian sebelah Timur dari daratan yang tenggelam itu, dari dalam lautan muncul sebuah daratan baru yang disebut Porodisa. 
Secara ilmiah, proses ini dapat dibenarkan menurut teori seorang Ahli Tubuh Bumi, Bpk. Wisaksono Wirjodihardjo, di dalam bukunya yang berjudul Tubuh Bumi Indonesia, dia mengumpamakan bahwa bumi ini merupakan tanah gambut dan bila diinjak di tengah-tengahnya, maka bagian yang kena kaki, permukaan tanah itu akan turun, sedang tanah di bagian luar dari kaki itupun meninggi, namun volume tanah tidak akan berkurang.
Jadi, jika menurut teori ini, maka besarnya daratan Tampunganglawo yang tenggelam itu, sama besarnya/luasnya dengan daratan Porodisa atau pulau Karakelang Talaud.

Menurut Djoko Tribawono,kepulauan Indonesia dengan untaian pulau-pulau di garis katulistiwa, terhampar di atas laut, merupakan faktor fisik paling dominan membentuk tanah tumpah darah Indonesia. Zaman dahulu sebagian penduduk asli beranggapan seluruh laut hanya satu sebagai “telaga luas” yaitu dimana mereka hidup. Oleh sebab itu diartikan “Tagaroa” bahwa “taga” berarti telaga dan “roa” artinya luas; sekarang masih digunakan oleh rakyat Sangir Talaud (Anugerah Nontji, 2007). Istilah tagaroa “wilayah laut maha luas” mencakup Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, dikenal dan digunakan setelah kedatangan pelaut Eropa abad ke 15 dan 16. Tagaroa, selain digunakan untuk nama laut maha luas digunakan pula untuk nama dewa laut yang menguasai seluruh laut disebut ”Dewa Tagaroa”. Pengertian dan kebiasaan ini sama dengan pandangan orang Yunani kala itu, dan hingga kini ditiru bangsa-bangsa barat yang menggunakan nama dewa laut ”Okeanos” menjadi nama sebutan samudera luas ”Ocean”.

Mitos dan Sejarah
Kepulauan Talaud merupakan sekumpulan pulau-pulau di Lautan Pasifik yang termasuk di dalamnya Kepulauan Mindanau, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Palau. Jika mengikuti mitos yang beredar mengapa hingga terdapat banyak pulau di wilayah Pasifik tersebut maka berdasarkan tutur cerita rakyat Sangihe-Talaud mengatakan bahwa ada keturunan Raja Langit/Gumansalangi yang turun dari kayangan serta ingin mempersunting gadis desa di wilayah tersebut. Karena di tumitnya penuh kekuatan bara api maka ketika ia menginjakkan kakinya ke bumi, terpencarlah daratan hingga membagi pulau-pulau tersebut yang semula adalah satu.

Secara spesifik teoritik-ilmiah, Program Wallacea pernah mengadakan penyelidikan tentang Tarsius Spectrum (monyet/primata terkecil) dan jenis binatang yang hampir sama terdapat di daratan Filiphina hingga Vietnam dengan jenis yang terdapat di Indonesia Bagian Timur(Sangihe,Bitung=Tangkoko). Penguatan tersebarnya pulau-pulau atau kepulauan ini, diduga bahwa pernah terjadi angin topan dari laut yang sangat dahsyat sehingga menubruk dan memisahkan pulau-pulau tersebut.

Hal ini juga bisa disebabkan oleh letusan gunung berapi atau patahan Sirkum Pasifik dengan dibuktikan adanya terusan lempengan Sulawesi dan rangkaian gunung api aktif yang terdapat di Jepang hingga Sulawesi Utara. Bukti lain berdasarkan “Penemuan Kembali Tagaroa” oleh Mayor John Rahasia bahwa telah terjadi migrasi bangsa-bangsa yang terhimpun dari berbagai suku bangsa sehingga membentuk masyarakat hingga saat ini. Adapun Tagaroa diyakini sebagai Tuhan Segala Yang Kuasa yang melindungi penduduk pribumi di kawasan Asia-Pasifik dari Jepang hingga Australia dan Polynesia hingga Hawai dan Pulau Paskah.

Bukti tentang adanya kekuasaan historis-tradisional dengan diyakini bahwa Dewa Tagaroa adalah penguasa samudera dan pulau-pulau di Asia-Pasifik. Dalam tradisi dan keturunan suku bangsa Maori, Selandia Baru, suku bangsa di Papua New Guinea serta Sangihe-Talaud, menganggap bahwa Tagaroa adalah Dewa atau Tuhan Asal Segala Sesuatu.

Menurut Sastra lisan Sangihe Talaud berupa Sasambo,adalah sebagaiberikut :
Mengalung pingkae su alungu binawa.Metirolong langi Suwowong Tagialu.
Mendedapo tunkue Mendedating tadetene Hamu u bialelang Menggegala dempuge Lohang ngu kalu kaluwulaeng.Nepisi lapise nipikiung ngu lumu. Daukalung hawu nawae naleka
Nalekabe nawo benuse uhu,ensa u lowoe.Namuhe enede hamu ne nahang batu.Ondole ...
Nawongkasang daukalung pialelang,lekabe pisi lendeng pegasu tungkue.
Lendeng ...Pegasu hiwang lawesang,enede ...hiudu sege nenawuhe bengi nenahang sega.
Salumisi bembulaeng megegulingging meneneh matehing pehadeng.
Lunsihe su bongkone metetumbati ...meleluhude bembulune,nntagu tumbalohe kalimbotong sumahe ingge, taku kireng Tana lawo mededea Balawo.
Berang salamangka maka tamba pahengking,lumente bentihe menenawede ...hiwang lawesang. Tamalaweng kakokotang,mangimpopo su kalahego.memuka saluhe mumue tagialu meneking, mendasage, menubung pemuka tundung liang ngi bahiking,menondong lawese mendae eng lamene buheti u eli nasahiambeng pendangsesahiambengangu temang i sipiru naung.Tumompe u'raling saghipong dasage sesengehangngu luhude kumanoa engsania, sesaniakengu kanoa.Kahadu batang gantare u'wanua kisong daukalu,bali u'binangaeng Mendolong timbowo,kukahioro u'tempo.
Tumumpa ... Ta manawong pengengiralungang,mengumbele binangaeng medisi su Winalangeng ne dumpaeng kila. Lumintu pantuhu,Lumempang deluse somahe kehaghe.
Kimomohe ...Penahulending uwuse.Namuhu timuhe nelamude nusa napetangu sasi
Nesuleng puaga.Daleng limente nenentang liewehe nitiu u anging, namara reka
nimahulendingang. Nienede ...Suhiwang nitapi kapia,Taghaloang sebung sasi, nelamude apeng. Nesuleng huso, simue suhimang,pundalu sengiungtaka hinsangeng, petong sengkatau su bangka u' senggesa. Hiabe ...liewehu lano uwusu singgata,Singgatang kendagu DUATA.
Banua kalonge matualageng sumenang-simarang nikahumperongang
suhiwang Gengghona, timbowo u nikalenabeng Mawu. nitaking Masusi. 

Konsep paling mutakhir yang dianut oleh para ilmuwan sekarang yaitu Teori Tektonik Lempeng. Teori ini lahir pada tahun 1960+. Tektonik Lempeng ini dipicu oleh adanya Pemekaran Tengah Samudera (Sea Floor Spreading) dan bermula di Pematang Tengah Samudera (Mid Oceanic Ridge : MOR) yang diajukan oleh Hess (1962).
Pada awalnya ada dua benua besar di bumi ini yaitu Laurasia dan Gondwana kemudian kedua benua ini bersatu sehingga hanya ada satu benua besar (supercontinent) yang disebut Pangaea dan satu samudera luas atau yang disebut Panthalassa (270 jt th yll). Dari supercontinent ini kemudian terpecah lagi menjadi Gondwana dan Laurasia (150 jt th yll) dan akhirnya terbagi-bagi menjadi lima benua seperti yang dikenal dan ditempati oleh manusia sekarang.

Terpecah-pecahnya benua ini menghasilkan dua sabuk gunung api yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediteranean yang keduanya melewati Indonesia. Mekanisme penyebab terpecahnya benua ini bisa diterangkan oleh Teori Tektonik Lempeng sebagai berikut :
1. Penyebab dari pergerakan benua-benua dimulai oleh adanya arus konveksi (convection current) dari mantle (lapisan di bawah kulit bumi yang berupa lelehan) . Arah arus ini tidak teratur, bisa dibayangkan seperti pergerakan udara/awan atau pergerakan dari air yang direbus. Terjadinya arus konveksi terutama disebabkan oleh aktivitas radioaktif yang menimbulkan panas.

2. Dalam kondisi tertentu dua arah arus yang saling bertemu bisa menghasilkan arus interferensi yang arahnya ke atas. Arus interferensi ini akan menembus kulit bumi yang berada di atasnya. Magma yang menembus ke atas karena adanya arus konveksi ini akan membentuk gugusan pegunungan yang sangat panjang dan bercabang-cabang di bawah permukaan laut yang dapat diikuti sepanjang samudera-samudera yang saling berhubungan di muka bumi. Lajur pegunungan yang berbentuk linear ini disebut dengan MOR (Mid Oceanic Ridge atau Pematang Tengah Samudera) dan merupakan tempat keluarnya material dari mantle ke dasar samudera. MOR mempunyai ketinggian melebihi 3000 m dari dasar laut dan lebarnya lebih dari 2000 km, atau melebihi ukuran Pegunungan Alpen dan Himalaya yang letaknya di daerah benua. MOR Atlantik (misalnya) membentang dengan arah utara-selatan dari lautan Arktik melalui poros tengah samudera Atlantik ke sebelah barat Benua Afrika dan melingkari benua itu di selatannya menerus ke arah timur ke Samudera Hindia lalu di selatan Benua Australia dan sampai di Samudera Pasifik. Jadi keberadaan MOR mengelilingi seluruh dunia.

3. Kerak (kulit) samudera yang baru, terbentuk di pematang-pematang ini karena aliran material dari mantle. Batuan dasar samudera yang baru terbentuk itu lalu menyebar ke arah kedua sisi dari MOR karena desakan dari magma mantle yang terus-menerus dan juga ‘hanyut’ oleh arus mantle. Lambat laun kerak samudera yang terbentuk di pematang itu akan bergerak terus menjauh dari daerah poros pematang dan ‘mengarungi’ samudera. Gejala ini disebut dengan Pemekaran Lantai Samudera (Sea Floor Spreading)

4. Keberadaan busur kepulauan dan juga busur gunung api serta palung Samudera yang memanjang di tepi-tepi benua merupakan fenomena yang dapat dijelaskan oleh Teori Tektonik Lempeng yaitu dengan adanya proses penunjaman (subduksi). Oleh karena peristiwa Sea Floor Spreading maka kerak samudera akan bertemu dengan kerak benua sehingga kerak samudera yang mempunyai densitas lebih besar akan menunjam ke arah bawah kerak benua. Dengan adanya zona penunjaman ini maka akan terbentuk palung pada sepanjang tepi paparan, dan juga akan terbentuk kepulauan sepanjang paparan benua oleh karena proses pengangkatan. Kerak samudera yang menunjam ke bawah ini akan kembali ke mantle dan sebagian mengalami mixing dengan kerak samudera membentuk larutan silikat pijar atau magma. (Proses mixing terjadi pada kerak benua sampai 30 km di bawah permukaan bumi). Karena sea floor spreading terus berlangsung maka jumlah magma hasil mixing yang terbentuk akan semakin besar sehingga akan menerobos batuan-batuan di atasnya sampai akhirnya muncul ke permukaan bumi membentuk deretan gunung api.

Kondisi Geologi Dinamis Indonesia
Kepulauan Indonesia terbentuk karena proses pengangkatan sebagai akibat dari penunjaman (subduksi). Lempeng (kerak) yang saling berinteraksi adalah Kerak Samudera Pasifik dan Hindia yang bergerak sekitar 2-5 cm per tahun terhadap Kerak Benua Eurasia dan Filipina. Jadi Indonesia merupakan tempat pertemuan 4 lempeng besar sehingga Indonesia merupakan daerah yang memiliki aktivitas kegempaan yang tertinggi di dunia. Terdapat dua sabuk gunung api yang melewati Indonesia yaitu Sirkum Mediteranean sebagai akibat penunjaman Kerak Samudera Hindia ke dalam Kerak Benua Eurasia, dan Sirkum Pasifik sebagai akibat penunjaman Kerak Samudera Pasifik ke dalam Kerak Benua Eurasia/Filipina.

Atlantis nama daratan itu. Sebuah nama dari benua legendaris yang pertama disebut oleh Plato (360 tahun sebelum masehi) dalam dialog Timaeus and Critias. Hingga saat inipun banyak yang menyangsikan bahwa cerita tersebut berdasarkan fakta. Tapi menurut Plato, Atlantis pernah ada. Ia menyebutkan bahwa Benua tersebut berada di bawah pillar Heracles yang tenggelam 11.500 tahun yang lalu oleh bencana alam dan kekacauan besar. Plato sendiri dipercayai oleh beberapa ahli, mendapatkan kisah ini dari penduduk Mesir, yang menyebutnya Keftiu. Beberapa sarjana bahkan beranggapan, Plato terinspirasi oleh kejadian-kejadian masa lalu seperti, Ledakan Guung Thera, Perang Troya, Kehancuran Helike (373 Sebelum Masehi), Perang Bharatayudha, hingga kegagalan invasi Athena ke pulau Sisilia yang diramu menjadi satu cerita, sehingga banyak orang beranggapan Benua Atlantis hanya dongeng semata.

Atlantis yang artinya Tanahnya Atlas - Negeri 2 Pilar/Tiang yang bisa diartikan sebagai negeri dengan pegunungan-pegunungan. Atlantis dikenal mempunyai tanah yang sangat subur, makmur dan berteknologi tinggi, dengan kota atau pulau berbentuk lingkaran/cincin yang tersusun antara daratan dan perairan secara berurutan. Susunan tersebut dikabarkan berdasarkan perhitungan matematika yang tepat dan efisien sehingga tertata dengan rapi dengan sebuah istana megah tepat di pusat kota sebagai pusat pemerintahan.

Walupun sebagian orang menganggap Benua Atlantis hanya dongeng belaka, tak kurang ribuan buku dan puluhan film membahas atau menyinggung tentang keberadaan Atlantis.
Bagi para arkeolog atau oceanografer modern, Atlantis tetap merupakan obyek menarik untuk dipelajari terutama menyangkut teka-teki dimana sebetulnya lokasi Benua itu berada. Berbagai ilmuwan dan juga paranormal serta wartawan hingga kini masih mencari lokasinya.

Peneliti dan Penulis, James Churchward, menemukan tulisan sakral tibet yang menunjukkan ‘dua benua tak dikenal’ yang ia duga salah satunya adalah Atlantis. Begitu juga sebuah Petroglyph di Yucatan Meksiko yang ditemukan oleh William Niven yang menggambarkan konfigurasi tak dikenal sebuah daratan di sekitar Atlantik dan Pasifik.

Lokasi Atlantis berdasarkan buku Atlantis :The Antediluvian World, Ignatius L. Donnelly, 1882 
Pendapat yang umum dikemukakan tentang keberadaan Atlantis adalah hilang di Laut Atlantik. Diperkirakan di tengah-tengah laut luas tersebut, dahulu kala terdapat pulau dengan kebudayaan maju yang tenggelam akibat mencairnya zaman es atau bencana alam lainnya. Ada yang memperkirakan Benua tersebut berada di sekitar Portugal dan bahkan sampai ke seberang Atlantik di perairan Karibia.

Atlantis di Irlandia?
Dr. Ulf Erlingsson, seorang ahli geografi yang mendalami geografi fisik pada Universitas Uppsala di Swedia, menyatakan Irlandia adalah Pulau Atlantis yang dimaksud oleh Plato. Spesialisasi Dr. Ulf Erlingsson adalah geomorfologi, geologi bahari (marine geology) dan glaciologi (ilmu pengetahuan mengenai kepulauan es). Erlingsson pakar dalam pemetaan bawah laut dan telah menciptakan peralatan untuk tujuan ini.

Menurutnya, ukuran, geografi dan bentang alam Atlantis sama persis dengan Irlandia. Paling utama dalam teorinya ini adalah ukuran panjang dan lebar pulaunya sama, serta terdapat daratan di tengah pulau yang dikelilingi gunung-gunung. Menurutnya, cerita Plato memiliki 99,98 persen data geografis Irlandia. Dan bencana yang dimaksud Plato adalah tenggelamnya Dogger Bank akibat pasang yang luar biasa pada 6.100 tahun SM.

Bukan hanya mengkaji secara geografi fisik, Ulf Erlingsson juga mencantumkan situs megalitik di Irlandia yang setara dengan monumen megalitik lainnya di Eropa dan Afrika Utara yang masuk dalam batas wilayah Atlantis menurut Plato. Kajian Erlingsson ini diterbitkan bulan September 2003 oleh Lindrom Publishing dengan judul ”Atlantis from a Geographer’s Perspective: Mapping the FairyLand.”
Atlantis = Indonesia?

Dugaan terkini tentang keberadaan Atlantis adalah daratan yang berada di Indonesia. Sebagian arkeolog dan ilmuwan Amerika Serikat bahkan meyakini benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land atau Summa Terra Land, Wilayah yang kini ditempati Sumatera, Jawa dan Kalimantan yang sekitar 11.600 tahun silam daratan-daratan ini masih merupakan kontinen yang sangat besar. Benua ini perlahan-lahan tenggelam dan terpisah seiring dengan berakhirnya zaman es. Teori ini diangkat ke permukaan dalam ‘International Symposium on The Dispersal of Austronesian and The Ethnogeneses of The People in Indonesian Archipelago’ yang dihelat 28-30 Juni 2005, di Solo. Hipotesa itu berdasarkan pada kajian ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologimolekuler. Disebutkan lagi, Pulau Natuna dan Penduduknya merupakan sisa-sisa terpenting yang berkaitan dengan Atlantis. Berdasarkan kajian Biomolekuler, Penduduk Asli Natuna memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua yang diyakini bangsa ini memiliki kebudayaan tinggi seperti yang dinisbatkan Plato dalam mitologi yang ia kemukakan.

Dalam teori yang lain yang mendukung Atlantis berada di Indonesia mengemukakan, Penduduk Atlantis terbagi dua, keturunan minoritas bangsa lemuria yang berkulit putih, tinggi, bermata biru dan berambut pirang yang merupakan nenek moyang suku bangsa Arya dan dipercaya memiliki garis keturunan Bangsa Pleides, sedangkan penduduk yang lain berkulit coklat/gelap, relatif pendek, bermata coklat dan berambut hitam memiliki garis keturunan Bangsa Mu/Lemuria/Pasifika. Pada waktu itu, Bangsa luar angkasa (Bangsa Pleides) sudah berhubungan baik dengan penduduk Bumi. Mereka umumnya dianggap sebagai Dewa karena kemampuannya jauh di atas penduduk Atlantis.

Hal ini dihubung-hubungkan dengan Hastinapura (Bahasa Sansekerta untuk Atlantis) tepatnya disekitar wilayah Suma Terra (Sumatra) atau disebut juga Swarnabhumi atau Land of Taprobane, ditengah-tengah 2 pillar penyangga : Gunung Krakatoa dan Gunung Toba, dua gunung yang super besar. Atlantis hancur karena konflik internal para penguasa yang luluh lantak karena peperangan super modern dengan menggunakan teknologi tinggi (nuklir) berikut senjata-senjata pemberian bangsa Pleides. Senjata tersebut memiliki daya hancur masal yang dimiliki oleh para pemimpin-pemimpin Atlantis, yang pada akhirnya memicu ketidakstabilan pada alam.

Peperangan itu terbagi menjadi 2 kubu besar, seperti yang diceritakan dalam mitologi, Pandawa dan Kurawa. Kendaraan tempur dan pesawat-pesawat tempur di asumsikan sebagai Kereta Kencana, sedangkan Panah-panah sakti adalah asumsi dari Rudal balistik atau laser beam. Dan baju zirah yang dikenakan gatot kaca adalah Baju tempur yang bisa terbang. Diceritakan pula, seorang tokoh (baladewa) tidak boleh ikut berperang karena memiliki senjata pemusnah masal yang mampu membelah bumi.

Peristiwa besar itu, yang dimenangi oleh Pandawa, tetap saja mengakibatkan alam menjadi tidak seimbang yang pada akhirnya terjadi letusan besar dari 2 gunung super volcano (2 pillar) yang mengapit mereka, yang memusnahkan Penduduk Atlantis secara global, yaitu Gunung Krakatoa dan Gunung Toba. Danau Toba, danau terluas di atas ketinggian seribu meter dari permukaan air, adalah kaldera raksasa yang di asumsikan sebagai sisa-sisa dari Gunung raksasa tersebut. Ledakan itu menyebabkan gelombang Tsunami yang dahsyat sehingga menghapus semua kebudayaan yang pernah berdiri di Summa Terra. Tersapu dan di hempaskan ke seluruh bagian dunia hingga terhisap ke dasar Lautan Atlantik.

Sebagian kecil penduduk yang selamat sebagian besar lari ke arah barat (melalui India, Alengka (Srilangka)) dan menjadi Ras Arya. Sebagian kecil ke arah timur dan menjadi Bangsa Oceania dan Indian. Sayangnya bagian kecil penduduk yang selamat adalah penduduk-penduduk yang ada di lingkar luar yang jauh dari pusat Atlantis. Sehingga kesinambungan teknologi tiba-tiba berhenti dan kembali ke masa Pra-Sejarah. Mereka hanya mewariskan kisah-kisah ini ke keturunan mereka yang kemudian di adaptasikan dengan perkembangan kebudayaan setempat. Kisah-kisah ini yang kemudian mengilhami pemahaman kepercayaan yang dianut oleh penduduk bumi sebagai tuntunan dan pedoman hidup agar tidak terjadi lagi kehancuran yang berakibat musnahnya peradaban manusia untuk kesekian kali.

Sejak saat itu, Bangsa Pleides (Mahluk Luar Angkasa) memutuskan untuk tidak ikut campur dalam perkembangan manusia saat ini, karena kemunculannya disetiap kebudayaan sebagai campur tangan mereka terhadap proses pendewasaan manusia bumi yang diikuti dengan alih teknologi malah mengakibatkan kehancuran. Di anggap manusia bumi belum siap menerima teknologi yang mereka sampaikan dengan menyalahgunakannya. Campur tangan tersebut juga tenyata berdampak pada pemujaan berlebihan dan menganggap mereka sebagai Dewa yang pada akhirnya menyingkirkan hakikat Tuhan. Saat ini mereka hanya mengamati dan sesekali datang mengunjungi kita yang penampakannya sering disebut-sebut dengan UFO (Unidentified Flaying Object) atau Alien. Kemunculan UFO yang seringkali dilaporkan di Dunia Barat (Amerika dan Eropa) juga dianggap mereka sedang mengobservasi bagian sisi kebudayaan yang paling maju seperti yang mereka lakukan di kebudayaan-kebudayaan terdahulu.

Dalam teori tersebut, orang Indonesia sekarang bukan orang keturunan Atlantis atau Mu/Lemuria melainkan suku mongolid yang berasal dari cina selatan melalui malaka dan suku negroid austro yang berasal dari Austalia. Merekalah yang akhirnya tinggal di wilayah bekas reruntuhan Atlantis.

Teori spekulatif yang lain tentang keberadaan Benua Atlantis, justru saling berseberangan satu sama lain. Dalam teori yang lain, Atlantis selalu dihubung-hubungkan dengan keberadaan UFO secara langsung. Dipercayai, oleh para pendukung keberadaan UFO, mahluk-mahluk ekstrateretial tersebut adalah manusia atlantis yang meninggalkan Bumi karena kehancuran massal. Mereka, dengan teknologi majunya, pindah ke Planet lain. Ada yang beranggapan mereka pindah ke Planet Mars, lalu pindah lagi ke Planet lain. Hal ini juga menerangkan Evolusi manusia yang berubah menjadi Alien. Dalam waktu ribuan tahun atau lebih lama lagi, Karena perkembangan teknologi yang amat pesat, kepala manusia menjadi lebih besar karena porsi otak yang mereka gunakan makin maksimal. Tubuh mereka menjadi lebih kurus karena, semakin maju teknologi, tidak ada lagi pekerjaan keras yang mereka kerjakan, mulut mereka mengecil karena konsumsi sudah lebih cepat dengan cara infus atau berbentuk pil. Mereka sesekali berkunjung ke Bumi untuk meneliti kehidupan yang telah ia tinggalkan.

Sampai saat ini, teori tentang keberadaan Atlantis tak terhitung jumlahnya dan sangat bervariasi. Seluruh teori yang berkembang dianggap masih bersifat spekulatif dan justru mendulang ribuan tanya. Tidak ada cukup bukti-bukti yang mendukung dan tidak ditemukan peninggalan sejarah yang faktuil untuk mendukung teori-teori tersebut. Hingga saat ini, Benua Atlantis tetap menjadi misteri terbesar dalam peradaban manusia yang tidak terkuak.

Apakah misteri Atlantis berada di kepulauan Sangihe Talaud ?
Segala kemungkinan bisa saja terjadi, sebab letak geografi kepulauan Sangihe Talaud berada dibibir pasifik, sehingga bagian daratan kepulauan Sangihe Talaud yang tenggelam mempunyai kait-mengait tenggelam pulau (Benua) Atlantik. Dari hasil temuan ekspedisi kerja sama Indonesia Amerika Serikat, memungkinkan untuk diadakan ekplorasi/Observasi untuk di hubungkan bilamana ada kesesuaian bukti yang bisa mengarah ke tenggelamnya Benua Atlantis. Keberadaan kepulauan Sangihe Talaud berakar dari legenda asal usul nenek moyang etnis Sangihe Talaud yang berhubungan erat dengan putri-putri(Bidadari)dari khayangan, diantaranya perkawinan Gumansalangi dengan Putri Konda Wulaeng,Humansadulage dengan Tendensehiwu, putri Ting dengan pangeran dari khayangan melahirkan Mokodouduh, Mokodoluduh dengan Bawunia, Sese Madunde dengan Bidadari. Cerita sebagian rakyat bahwa pulau Sangihe terjadi dari airmata seorang bidadari. Nama Sangihe yaitu berasal dari Sangi, Masangi, mahunsangi, Sangitang yang kesemuanya berarti menangis.

Di kisahkan, ribuan tahun lalu, jauh sebelum peradaban manusia saat ini, terdapat sebuah peradaban maju ditanah yang subur dan makmur. Peradaban tersebut begitu terorganisir dengan tata letak bangunan yang rapih dan seni yang menawan. Negeri dengan pegunungan-pegunungan yang indah dan megah dengan teknologi yang sangat maju. Tiba-tiba saja peradaban tersebut lenyap. Dan tak berbekas. Seluruh peninggalan dan bukti sejarah seperti ditelan ke dasar bumi, terlipat dalam ceruk yang dalam, tersapu dari bumi selamanya. Bumi kembali sepi. Peradaban kembali pada titik nol.

Berdasarkan temuan tim ekspedisi hasil kerjasama indonesia dengan Amerika Serikat beberapa waktu yang lalu, telah menemukan beberapa buah gunung berapi di wilayah perairan kepulauan Sangihe Talaud. Diantara temuan tersebut terdapat sebuah gunung berapi raksasa di dasar laut di sekitar pulau kawio/kawaruso.Gunung berapi yang masih aktif menyerburkan butiran emas, satu kemungkinan merupakan penyebab tenggelamnya sebagian daratan pulau Sangihe, karena menurut cerita rakyat Sangihe Talaud bahwa pulau Sangir Besar (Tampunglawo) dahulukala daratannya bersambung dengan pulau-pulau tersebut. Juga ditemukannya ikan-ikan purba yang hidup diperairan Sangihe Talaud diperkirakan sejak 150.000 sampai 200.000 tahun yang lalu. 

Temuan adanya lokasi 'hutan purba' di seputaran kawasan lindung Sahanderumang, Kampung Lelipang Kecamatan Tamako Kabupaten Sangihe, oleh wisatawan asing asal Jer-man 27 Desember 2007 lalu, seakan semakin diperjelas dengan ditemukannya tulang belulang berukuran raksasa oleh warga Kampung Pinta-reng, Kecamatan Tabukan Selatan Tenggara (Tabselteng). 
Konon tulang belulang yang diyakini merupakan fosil dari manusia purba tersebut, dite-mukan warga pada tahun 1997 silam. 

"Kalau dikaitkan, ada kebe-narannya juga bila di kawas-an lindung Sahanderumang ada spot hutan purba. Karena tahun 1997 lalu warga pernah menemukan tulang berukur-an raksasa di Sungai yang berbau busuk. Sungai Busu ini muaranya dari Sahanderumang," 

Tulang belulang yang tersisa tujuh bagian tersebut memi-liki bobot rata-rata di atas lima kilogram (kg). "Ini de pe tulang kaki, de pe tulang bagian belakang deng gigi," ini merupakan sisa yang dibawah oleh warga asing yang datang ambil lalu dibawa pergi. Pada tahun 1997 pernah ditemukan warga yang mendulang emas di Kali Busu. Saat penggalian mencapai kedalaman lima meter, warga menemukan benda yang awalnya dikira bebatuan yang mengandung mineral emas. Tapi ternyata itu adalah tulang. Penemuan tersebut berupa tulang betis kaki dan tulang belakang manusia raksasa zaman da-hulu. Ada juga giginya ditemukan taring berukuran satu meter lebih yang masih utuh diambil orang Prancis dan Jerman.

Menurut Dr.Santoso Soegondho, Pada saat terjadi peng-esan (zaman glacial) di muka bumi pada masa Plestosin, pernah terjadi migrasi fauna dari daratan Asia ke Selatan melalui Filipina dan Sulawesi Utara. Oleh sebab itu di Filipina dan di Sulawesi Utara terdapat peninggalan fosil-fosil binatang purba seperti gajah purba (stegodon) dan fosil hewan lainnya. Di Desa Pintareng di Tabukan Selatan di Pulau Sangihe, telah ditemukan adanya fosil-fosil gading dan geraham gajah purba tersebut. Menurut para ahli dari Museum Geologi Bandung dan dari Pusat penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, fosil-fosil tersebut dinyatakan sebagai bagian dari fosil Stegodon yang pernah hidup di Kepulauan Nusantara pada masa Plestosin sekitar 2 juta tahun lalu. Gajah purba ini selain di Pintareng telah ditemukan fosil-fosilnya di Sangiran, di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, di Lembah Cabenge di Sulawesi Selatan dan di Lembah Besoa di Sulawesi Tengah. Stegodon di dunia diperkirakan pernah hidup sejaman dengan binatang purba lainnya. Di Indonesia stegodon hidup dengan binatang-binatang purba lainnya seperti Rinocheros (badak purba) serta kerbau purba dan lain sebagainya. Dengan temuan fosil gajah purba di Pintareng, Tabukan Selatan Sangihe tersebut, maka sebenarnya diketahui pada masa plestosin sekitar 2.5 juta tahun yang lalu, iklim di bumi mengalami perobahan total yaitu penurunan suhu yang sangat drastis. Masa itu dikenal dengan zaman glacial (zaman es). Fenomena alam ini erat hubungannya dengan perubahan dari parameter astronomi mengenai posisi bumi terhadap matahari. Kejadian ini berlangsung secara periodik, yang telah mengakibatkan berubahnya jumlah total dan pembagian energy dari matahari yang diterima bumi. Selama apa yang disebut zaman es (zaman glasial) itu berlangsung, air di bumi terkumpul dalam bentuk es di daerah-daerah yang bergaris lintang tinggi. Hal ini berarti kandungan air di samudra menjadi berkurang, akibatnya muka air laut menjadi turun. Oleh sebab itu tidak heran kalau gajah purba dari jenis Stegodon ditemukan di Filipina dan beberapa daerah di Indonesia seperti Pintareng, Besoa, Cabenge, Flores dan Sangiran. Para ahli mempprediksi bahwa Sulawesi Utara menjadi pintu gerbang di dalam migrasi binatang purba ini.

Sejarah peradaban manusia di daerah ini cukup panjang dan menarik. Daerah ini pada jaman es melanda dunia pada masa plestosin jutaan tahun yang lalu, merupakan bagian daratan yang menghubungkan pulau Sulawesi dengan daratan Filipina bahkan daratan Asia. Setelah jaman es berakhir, Sulawesi Utara menjadi daratan yang membentuk jazirah Pulau Sulawesi dan kepulauan di bagian Utaranya.
Selain daratan yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, Sulawesi Utara juga terdiri dari pulau-pulau yang jumlahnya cukup banyak, lebih dari 150 pulau. Daerah ini mempunyai karakter alam yang khas yaitu dataran tinggi lebih luas dari dataran rendahnya, memiliki banyak gunung berapi dan sebagian besar masih aktif termasuk gunung api bawah laut, memiliki banyak gugusan karang yang membentuk pulau-pulau, selain itu kerak bumi daerah ini berdekatan bahkan sebagian berada tepat di daerah terjadinya proses subduksi (perbenturan) lempeng-lempeng (plates) tektonik antara lempeng Pasifik-Filipina-Australia dengan lempeng Sangihe dan Halmahera. Bahkan terletak dekat dengan pertemuan lempeng-lempeng dunia seperti lempeng Pasifik, Eurasia dan Australia.

Posisi di daerah subduksi inilah yang menyebabkan kemunculan gunung-gunung berapi dan sering terjadinya berbagai gempa bumi di daerah ini sejak jaman dahulu kala. Gunung-gunung berapi Sulawesi, Halmahera dan Sangihe, adalah merupakan hasil zona subduksi lempengan Sangihe dan Halmahera.
Sebagian besar lempengan Maluku telah tertindih (tersubduksi) oleh zona subduksi Halmahera di bagian Timur dan oleh zona subduksi Sangihe di bagian Barat. Gunung-gunung berapi di Sulawesi, Sangihe dan Halmahera diberi pasokan magma yang dibangkitkan di mantle asthenospherik yang termodifikasi oleh fluida yang dihasilkan dari lempengan Maluku yang tertindih. Dalam beberapa juta tahun semua lempengan Laut Maluku akan tersubduksi dan lempengan Sangihe serta Halmahera yang sudah saling menindih pada ujung-ujung lempengannya akan bertabrakan hebat 

Berdasarkan penelitian arkeologi diketahui bahwa tanda-tanda kehidupan manusia di Sangihe Talaud sudah berlangsung sejak 30.000 tahun yang lalu seperti yang ditemukan buktinya di gua Liang Sarru di Pulau Salibabu. Migrasi dari wilayah Asia ke Pasifik melalui route ini ditengarai dengan menyebarnya kebudayaan Austronesia di pulau-pulau di sekitar Pasifik, seperti ditunjukkan oleh penggunaan bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia, serta ditemukannya sisa-sisa budaya yang mengenal pemakaian alat-alat batu muda (neolitik) yang berupa beliung batu persegi di Liang Tuo Mane’e di Kabupaten Talaud.Kemudian ditemukan pula sisa-sisa budaya masa logam tua (paleometalik) yang mengenal penggunaan tempayan kubur seperti yang ditemukan di Liang Buiduane di Talaud.(Bellwood, 1978). Menurut para pakar diperkirakan menjadi daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas permasalahan daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai dengan Easter Island di kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara (Solheim, 1966; Shuttler, 1975, Bellwood, 2001).Budaya yang dibawa oleh suku bangsa penutur bahasa Austronesia meninggalkan warisan-warisan budaya yang terdiri dari alat-alat batu neolitik beliung persegi. Alat-alat batu neolitik telah ditemukan di gua-gua di daerah Sangihe Talaud.

Khusus untuk cerita rakyat Sangihe Talaud masih banyak lagi merupakan sebuah misteri yang sampai saat ini belum terungkap kebenarannya, diantaranya adalah :
Manusia Ampuang yang pusat kerajaan dibawah bumi konon segala sesuatu terbuat dari kristal, emas dan permata. Cerita Mandariki(manusia kerdil), manusia Apapuhang yang hidup diatas pohon. serta cerita manusia Ansuang (raksasa)/Menghilangnya Kerajaan Mangsohowang atau kerajaan para manusia raksasa,cerita kabanasa yang mencuri air tuak, cerita tentang Makaampo yang lapar daging dan haus darah manusia keturunan raksasa, Laksamana laut Hengkeng‟u naung meliku nusa kumina ateng bahani dari kerajaan Siau bukti pedang dan batu asah ada di Kawahang, cerita tentang Ambala pemberani dari Tamako dengan pedang sakti sampai batu terbelah, Batu Makaampo yang terletak diatas lereng puncak gunung Awu,cerita upung wuala.

Cerita/Hikayat/Legenda, tersebut diatas tergantung dari sudut mana kita melihat serta menyikapinya, semua tergantung dari pribadi kita masing-masing. Kita sebagai umat yang percaya kepada Tuhan menyerahkan semua kepada Sang Khalik, kita manusia sebagai mahkluk hanya beriktiar tetapi rencana dan kehendak Tuhan yang berlaku. Semua itu merupakan sebuah misteri bagi kita hanya Tuhan yang mengetahuinya.

SEJARAH PENAMAAN NUSA UTARA


Nusa Utara adalah sebuah nama yang merujuk pada pulau-pulau di utara pulau Sulawesi (Celebes). Nusa Utara pada skala keindonesiaan kini terdiri dari tiga kabupaten, antara lain Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Sebutan Nusa Utara berawal dari Belanda sebagai ‘noorder-einlanden’, pulau-pulau lebih Utara. Lazimnya istilah Belanda itu diterjemahkan, ‘Nusa Utara’. Buku Viersen tahun 1903 membenarkan hal ini: “Adapoen maka poelau-poelau Sangir dan Talaoet doedoek pada pihak Timoer laoet tanah Minahasa. Masa keperintahan Kompeni Hindia Nederland maka poelau-poelau itoe diseboet: Poelau-poelau yang doedoeknja lebih ke Utara”.

Istilah noorder-einlanden atau Nusa Utara ini terhitung sudah berusia lebih tiga abad. Kemunculannya dihubungkan dengan sebuah laporan ‘Het Journaal van Padtbrugge’s Reis naar Noord-Celebes en de Noorder-eilanden’ (Jurnal Perjalanan Padtbrugge Ke Sulawesi Utara dan Pulau-pulau Lebih Utara) mengenai perjalanan Gubernur VOC
Maluku Padtbrugge 16 Agustus hingga 25 Desember 1677.

Namun istilah Nusa Utara sebagai kosa kata bahasa Indonesia sendiri baru digunakan oleh A. Maluega pada tahun 1972 dalam sebuah orasi ilmiah di Universitas Sam Ratulangi yang berjudul “Ikhtisar Perkembangan Kekuasaan Belanda di Kepulauan Nusa Utara”.

Konsistensi keilmuan Alex Ulaen, DEA dalam penggunaan istilah ini sejak tahun 1998 membuatnya lebih dikenal sebagai ilmuwan yang mempopulerkan istilah Nusa Utara. Dimulai dari tulisannya yang berjudul “Nusa Utara, Tepian Lintasan” dalam Supratikno Raharjo (ed.) Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (Kumpulan Makalah Diskusi). Buku Ulaen yang berjudul “Nusa Utara, Dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan” yang diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan Indonesia pada tahun 2003 kian mempopulerkan istilah ini.

Alasan yang dikemukakan oleh Ulaen berkaitan dengan penamaan ini sangat mendasar. Saat masih dalam satu kabupaten; Sangihe Talaud, orang-orang di Siau sebagai contohnya enggan menyebut identitas sebagai orang Sangir (Sangihe). Pada akhirnya penamaan Nusa Utara tidak lebih sebagai sebuah identitas baru dan penanda geografis untuk sebuah wilayah kepulauan di bagian utara pulau Sulawesi.***(Artikel Oleh: Rahadih Gedoan)
Diposkan Oleh  Enrico Lalintia