Dari perspektif
dinamika kependudukan, Tampungan Lawo atau Sangihe Besar pantas dicatat. Karena
di pulau inilah sebagai akibat dinamika politik, sosial dan budaya penduduknya
diduga sejak abad 12 muncul pemerintahan lokal/tradisional . Pertama kali,
dibuktikan lewat catatan jurutulis Magellan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Di
Sangihe, Pigafetta mencatat ada empat raja. Dua di Siau dan satu di
Tagulandang. Tapi sumber sejarah tiga abad sesudahnya, hasil tulisan F. Valentijn
yang datang ke Sangihe awal abad ke-18, menyebut awalnya hanya dua saja
kerajaan di Sangihe, yaitu Tabukan dan Kendahe. Menurutnya, nanti kira-kira
tahun 1670 muncul sembilan kerajaan di Sangihe, yaitu: Kerajaan Kolongan,
Kerajaan Taruna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kauhis,
Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan, Kerajaan Sawang (Saban) dan Kerajaan Tamako.
Namun, kemudian kerajaan yang terakhir (Tamako) menjadi bagian Siau. Sementara,
Raja Limau ditumpas pasukan kiriman Padtbrugge. Kerajaan ini hancur lebur. Dan,
Sawang bergabung dengan Kerajaan Taruna dan Kerajaan Kolongan. Sedangkan Kauhis
bergabung dengan Manganitu.
Kerajaan Sahangsowang
Sebelum kerajaan ini berdiri sudah ada kerajaan Apapuang, kemudian diganti
dengan Kerajaan Sahangsowang. Kerajaan Sahangsowang adalah kerajaan dari
manusia raksasa yang musnah karena letusan Gunung api Awu.
Kerajaan Tampung Lawo berdiri pada abad ke 13 dengan raja pertama bernama
Gumansalangi dengan permaisuri Konda Wulaeng/Sangiang konda (putri khayangan).
Pangeran Gumansalang berasal dari suku Sangil/Sanghi, Sangir kerajaan di
Kotabato Mindanauw selatan sekarang Fhilipina. Gumansalangi anak dari
Tumudai/Tuwondai melalui permaisuri Bintang Keramat dari kedatuan Ternate.
Wilyah kerajaannya meliputi Sangihe, Maluku Utara hingga Mindanauw.Keturunan
Gumansalangi menurunkan Datu-datu di Mindanao. Ampuang menikah dengan
Ruatangkan, mereka dikaruniai anak bernama Datu Tahidumole. Datu Tahidumole
menikah dengan Hiabunti, mereka melahirkan Datu Matumama. Datu Matumama
menikahi Lalakangbulang lalu melahirkan Ondolilare. Ondolilare menikah dengan
Waulana, mereka melahirkan Lapatua. Lapatua menikah dengan Binilangkati, lalu
melahirkan Ampuang II. Kemudian Ampuang II menikah dengan Belisehiwu lalu
memperanakan anak-anak sebagai berikut :
1. Balatanggara
2. Ratu Mangantanusa
3. Tubu-tubu
4. Mangingbulang
5. Manamehe
6. Tandingbulaeng
7. Tikase
8. Bawu Raupang dan
9. Lamanaowa.
Balatanggara, Ratu Mangantanusa, Manamehe, dan Lamanaowa kembali ke kepulau
Sangihe, mulai dari pulau Balut/Marulung, Saranggani hingga ke daratan pulau
Sangihe Besar. Manamehe memiliki sebuah batu keberuntungan. batu tersebut
sampai saat ini masih ada di Marulung (Balut).
Tubu-Tubu pergi ke Bolang Itang. Mangingbulang pergi ke Sulu. Tandingbulaeng,
Tikase, dan Bawu Raupang tinggal di Mindanao. Bahwa pulau Balut disebut
Marulong/Marulung artinya dekat Marori daratan. Alkisah bahwa Marulung,
Saranggani dahulukala bersambung dengan pulau Mindanao, akan tepi datanglah
orang-orang sakti dari kerajaan Tamponglawo (sangihe) dengan menggunakan lenso
(saputangan) sebagai perahu, dengan maksud memerangi kerajaan di Mindanao, oleh
karena ingin memisahkan diri dari kerajaan Tampunglawo. Orang-orang sakti ini
membuat tali (kakandong), mengambil Tempurung kelapa lalu diisi dengan pasir,
lalu menarik tempurung dengan tali yang sementara dibuat (kekandongang)
dibarengi/disertai dengan ucapan-ucapan(Sasambo), sehingga pulau Mindanao
terputus lalu jadilah pulau Marulung(Balut) dan Saranggani sekarang ini terpisah
dari Mindanao. Konon mereka kehabisan bahanbaku (ijuk) dari pohon Seho (Enau)
atau dalam bahasa Sangir disebut Kampuhang, sehingga kedua pulau tersebut tak
sempat dibawa lebih dekat ke pulau Sangir Besar. Berdasarkan peristiwa ini
kerajaan-kerajaan Mindanao menyerah dibawah taklukkan kerajaan Tampunglawo
dibawah raja Gumansalangi. Pulau Marulung(Balut) dan Saranggani di persembahkan
sebagai upeti kepada kerajaan Tampunglawo, berdasarkan peristiwa ini, maka
kedua pulau ini dihuni oleh masyarakat keturunan Sangihe Talaud hingga kini.
Sultan Mindanao berasal dari keturunan Gumansalangi. melalui anak bernama
Tipuandatu memiliki sebuah jubah yang dinamai menurut namanya “ Tampuan Punta”
adalah kulano (sultan) di Mindanao.
Di daerah Tugis terdapat makam Umar Masade, seorang imam Islam dari Tabukan
(Sangihe). Menurut cerita makam ini terjadi keajaiban hari demi hari berkembang
terus menjadi besar. Umar Masade berasal dari kerajaan Tabukan yang belajar
agama Islam di Ternate menurut cerita rakyat bahwa ia pergi ke Mindanao dengan
menggunakan sebuah piring besar. Piring ini sering digunakan untuk pergi pulang
Tabukan dalam menyebarkan agama Islam pada abad ke 14. terjadi keajaiban . Juga
Panurat yang menyebarkan agama Islam di Marulung.
Keturunan generasi ketiga Umar Masade dan Panurate adalah Melanginusa, yang
menyebarkan agama Islam di pulau Marulung(Balut) dan saranggani dan Nalikunusa
pergi ke semua tempat di Mindanao mereka tidak kembali ke Tabukan keturunan
mereka berkembang di Mindanao.
Berikut posting dari Published in The Philippine Post on Dec. 26, 1999
Historiography By Datu Jamal Ashley Abbas "Today, Sarangany Island (I’m
keeping the old spelling to distinguish it from the newly created Sarangani
province) is one of the poorest and most neglected municipalities in the
country. Yet once upon a time, it was the seat of a powerful Principality that
held dominion over the east coast of Mindanao (up to Tandag), the Sarangani
Bay, the Butuan Gulf (now Davao Gulf) and even in the Sangirese Islands in
Northern Moluccas.
The natives of Sarangany and its “twin”, Balut Island, belong to the Sangil or
Sangir ethnic groups. According to anthropologists, the Sangils are
autochthonous to the Davao area. They speak the Sangil and/or Sangir languages.
Sangir is also spoken by some 200,000 Sangirese in Moluccas.
In 1575, the powerful Sultan Bajang Ullah of Ternate made a mutual defense pact
with the Datu of Sarangani / Rajah of Candahar, whose capital was in Balut
Island.
In the past, Maguindanao’s, Buayan’s, Sarangany’s, Candahar’s and Sangir’s
rulers were practically one family. For example, in the latter half of the 17th
century, the children of Datu Buisan of Sarangany a.k.a. the Rajah of Candahar
were all over the region. His sons included Kudjamu, the Rajah of Buayan;
Samsialam and Makabarat, co-rulers of Buayan who later chose to live in
Ternate; and Pandjalang the Prime Minister of Tabukan in North Sangir. His
daughters were married to Sultan Barahaman and Katchil Bakaal of Maguindanao,
and the Sultan of Tabukan. His favorite daughter Lorolabo, who was married to
the Tabukan sultan, had a son, Joannes Calambuta, whom Buisan chose to succeed
him as Rajah of Candahar. Rajah Buisan was the son of Datu Buisan of Davao.
If Rajah Buisan of Candahar were alive today, I wonder what passport would he
use. The Dutch considered him a Sangirese /Moluccan ruler, yet he was the son
of Datu Buisan of Davao and was born and reared in Sarangany Island".
Kerajaan Malinggaheng
Kerajaan ini berdiri merupakan pemekaran dari kerajaan Tapung Lawo. raja
Malinggaheng pertama bernama Balanaung (anak Raja Mindanauw) dengan permaisuri
(Boki Siti Bai)cucu raja Gumansalangi. Wilayah kerajaan Kendahe, P. Lipang, P.
Kawaluso, P. Kawio, P. Komboleng, P. Sulu, P. Kaluwulang, P. Saranggani, P. Matutuang
(Balut).Kemudian kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Kendahe (Candahar).
Tercatat pula ada kerajaan yang ‘wilayahnya’ sampai ke bagian-bagian negara
Filipina kini. Kendahe misalnya disebut-sebut dalam beberapa situs di Mindanao
sebgai candahar mempunyai wilayah ke Mindanao. Raja Buisang/Wuisang menjadi
raja menggantikan Balanaung,dikisahkan raja Buisang pergi ke Mindanow untuk
berunding dengan Raja Babulla dari Kerajaan Ternate untuk membuat pertanan
bersama namun setelah kembali ke Makiwulaeng (Kendahe) istrinya telah diambil
oleh orang lain dan kerajaan diganti oleh anaknya bernama Samensi Alang, lalu
raja Wuisang pergi mengembara ke Minahasa.
Adapun wilayah Kerajaan Kendahe setelah pisah dari Tubis meliputi Bahu,
Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk
Kawio, Lipang, Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Bagian yang di
Mindanao merujuk pada data Valentijn adalah Coelamang, Daboe (Davao), Ijong,
Maleyo, Catil dan Leheyne,
Meski demikian, penting digarisbawahi pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah
total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini.Kala itu,
kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang
mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli
atas produk-produk dagang lain27. Sedang, kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar
dalam tulisannya ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang
atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para
elit pemimpin.
Kerajaan Kerajaan Bowontehu berdiri pada akhir abad 9 dengan pusat kerajaan di
Molibagu dengan raja bernama Humansandulage dengan boki Tendensehiwu putri
khayangan, kemudian Budulangi dengan boki Rantingan (putri Ting)kemudian
Mokodoludud pindah ke Bentenang, ke Pesolo (Lembe) ke Pulisang ke Lokon lalu ke
Manarauw (Manado Tua). Raja Budulang dengan permaisuri Putri Ting memperanakan
Toumatiti, Toumatiti memepranakan Mokodoludut.Mokodoludud membangun kembali
kerajaan Bowontehu dengan pusat pulau Manarouw dengan gelar Kulano. Di Manarouw
ini Mokodoludud dan Baunia dikaruniai lagi anak yang bernama, Jayubangkai,
Uringsangiang dan Sinangiang. Penduduk kerajaan ini berkembang bertambah banyak
sehingga sebagian mendiami daerah bagian utara dataran pulau Sulawesi yaitu
Gahenang/Mahenang nama kuno untuk Wenang berasal dari bahasa Sangir Tua yaitu
artinya api yang menyala/bercahaya/bersinar(suluh, obor, api unggun).
Perpindahan dilakukan dengan menggunakan perahu (Bininta), melalui tempat yang
bernama Tumumpa berasal dari bahasa Sangir yang artinya turun sambil
melompat,kemudian menetap di Singkil berasal dari bahasa sangir Singkile
artinya pindah/menyingkir. Mereka menyebar sampai ke Pondol bahasa Sangir
disebut Pondole artinya di ujung. Wilayah kerajaan Manarouw sesuai memori
Padtbrugge disebut menurut nama asalnya meliputi : P. Manado Tua, P. Siladeng,
P. Bunaken, P. Mantehage, P. Nain, P. Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P.
Lembeh serta daerah pesisir pulau Sulawesi. .***[Sumber tulisan: Buku karya
Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen yang berjudul
“SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES IN SARANGGANI BAY
AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND SANGIHE-TALAUD
ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252]. Penduduk Kerajaan
Bowontehu/Manarouw adalah orang sangir (Graafland, Minahasa masa lalu dan masa
kini, terjemahan Joost Kulit).
Pada suatu ketika kembali Mokodoludud memerintahkan rakyatnya membuat
perahu(Bininta), setelah selesai pembuatannya maka diuji kemampuan untuk
mengapung, mendayung serta berlayar dari perahu. Kapal tersebut memuat
putra-putri raja yaitu Lokonbanua, Uringsangiang, Sinangiang beserta
Batahalawo, Manganguwi, Bikibiki, Banea dan Tungkela. Raja Mokodoludud berpesan
kepada anak-anaknya agar selama dalam pelayaran tidak boleh mengeluarkan
sepatah katapun, akan tetapi Sinangiang lupa ketika melihat sebuah pulau lalu
bertanya pulau apakah itu ?. Maka tiba-tiba badai mengamuk sehingga terdampar
di pulau Tagulandang, Siau dan Sangir. Ditempat ini Uringsangiang dan
Sinangiang menangis terus menerus sehingga tempat ini disebut Sangihe yang
bersasal dari kata Sangi, Sangitang, Masangi, Mahunsangi artinya menangis.
Mereka hidup dan menetap ditempat ini, Lokonbanua menikah dengan Sinangiang.
Pada tahun 1380 seorang pedagang arab bernama Sharif Makdon setelah mengunjungi
ternate lalu tiba di Manarouw(Manado Tua) menyebarkan Agama Islam kemudian,
sehingga sebaian besar penduduk Manarauw memeluk agama Islam lalu Sharif Makdon
berangkat ke Mindanouw. Kemudian jalur ini diikuti oleh pelaut asal Portugis
Pedro Alfonso pada tahun 1511, Pedro Alfonso menemukan Ternate, setelah itu
armada dagang asal Portugis secara resmi mengirimkan Antonio de Abreu ke Maluku
tahun 1512. Pada tahun itu juga Portugis mengirimkan tiga kapal layar ke
Manarouw,(Pulau Manado Tua).
Lokon Banua II (leken artinya nama yang diangkat kembali) adalah keturunan
kesembilan dari Raja Mokodoludud Kulano(raja) Bowontehu. Berlayar dari Manarouw
bersama dengan pengikutnya pergi ke pulau Siauw lalu mendirikan kerajaan Leken
Banua II atau Karangetang pada tahun 1510.
Bangsa barat yang pertama-tama menemukan Manarouw ialah pelayar Portugis Simao
d’Abreu pada tahun 1523.
Nama Manarow dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia,
Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manarouw menjadi pintu gerbang transit kawasan
timur Indonesia bagi kapal-kapal dagang bangsa asing, sehingga menjadi daya
tarik bagi pedagang Cina.
Pada tahun 1563 Peter Diego de Magelhaes dari Portugis berangkat dari Ternate
menuju Manarouw mengajarkan pokok-pokok iman Kristen. Lalu Raja Manarouw
bersama rakyatnya 1500 orang dibaptis kesemuanya adalah orang Sangir. Baptisan
dilakukan di muara sungai Tondano yakni Raja Siauw bernama Possuma. Raja
Possuma lalu diberi nama baptis dengan nama Don Jeronimo (nama portugis)
Kemudian Peter Diego de Magelhaes ke Kaidipan (pesisir utara Gorontalo)
membaptis 2000 orang selama 8 hari.
Tahun 1570 Bulango dari kerajaan Bowontehu (pulau Manarouw) berlayar menuju
Tagulandang. Bulango mempunyai seorang anak perempuan bernama Lohoraung
mendirikan kerajaan Taghulandang atau Mandorokang di pulau itu bersama para
pengikutnya. Bulango adalah saudara dari Lokongbanua II dimana keduanya adalah
keturunan ke sembilan dari raja Mokodoludut dengan istrinya Baunia dari
kerajaan Bowontehu.
1619 Penduduk Manarouw sebagian besar telah beralih menjadi kafir. Oleh karena
itu Misi Injil mengalihkan penyebaran ke pegunungan yaitu orang-orang dari suku
pedalaman yang disebut alifuru lalu tiba Tomohon dan Tondano. Namun misi ini
gagal, karena kedatangan misionaris dihubungkan dengan hasil panen. Saat itu
panen tidak berhasil sehingga dikatakan dewa telah murka, para misionaris di
usir. Seperti dalam surat Pater Blas Palomino tanggal 8 Juni 1619. Sebelum dia
terbunuh di Minahasa pada tahun 1622, dia menulis mengenai sikap permusuhan
para Walian pemimpin agama suku terhadap para Missionaris asal Spanyol. Juga
Walian Kali yang menghasut kepala Negeri Kali bernama Wongkar untuk menolak dan
melarang para Missionaris Spanyol untuk masuk ke pedalaman Minahasa.
Pada tahun 1623 Kerajaan Bawontehu yang berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua)
dipindakan ke Gahenang/Mahenang nama kuno Wenang berasal dari bahasa Sangir
artinya api yang menyala atau bersinar (Suluh,obor), oleh karena dialek bangsa
Portugis, Spanyol dan Belanda mereka mengucapkan Wenang demikian juga dengan
Manarouw disebut Manado. Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah menjadi Kerajaan
Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow pada kurun waktu tahun 1644-1674.
Penduduk kerajaan ini adalah orang sangihe (Graafland, Minahasa masa lalu dan
masa kini, terjemahan Joost Kulit). Raja Loloda Daloda Mokoagow ini adalah anak
dari Raja Tadohe. Sedangkan Tadohe sendiri adalah cucu dari Raja Siauw yang
bernama Possuma dan cicit dari raja Tabukan(Rimpulaeng) Don Francesco Macaapo
Juda I. Kerajaan Manarouw adalah sebagai kerajaan terjauh dari wilayah
toritorial kerajaan Sangihe. Setelah Raja Laloda Daloda Mokoagow kemudian
menjadi raja adalah Donangbala yang memiliki pedang sakti.
Suku Bantik bukan penduduk pertama yang mendiami Manarow menurut cerita Pada
Tahun 1654 Salah satu kerajaan di Sangir yakni kerajaan Malingaheng Kendahe
yang dipimpin oleh Raja Sahmensi Arang (Syam Syach Alam)mempunyai seorang anak
bernama Putri Bulaeng Tanding. Kerajaan ini dengan wilayah bagian barat pulau
sangihe hingga pulau Kaluwurang. Kerajaan ini tenggelam oleh karena peritiwa
Dimpuluse (air jatuh dari langit)mereka terdampar di tempat yang bernama
Panimbuhing. Bukti peristiwa ini adalah Tanjung Maselihe di dalam terkubur
kursi emas dan makota raja konon katanya di jaga oleh ikan hiu. Dari peristiwa
tersebut sebagian selamat termasuk seorang yang bernama Bantik. Kemudian mereka
mengangkat Bantik sebagai pemimpin lalu berihkrar menjadi satu suku yang baru
yaitu Suku Bantik, dengan catatan mereka tidak boleh hidup bersama dalam satu
wilayah, agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Maka diatur
kelompok-kelopok berlayar dengan perahu menuju ke Mindanao,ke Beo, ke kema, ke
Belang,ke Manaraw, Leok-Buol sedangkan Bantik sendiri pergi ke Mongondow. Jadi
suku Bantik merupakan anak suku dari suku Sangir.
Dalam surat Pater Juan Yranzo yag ditulis di Manila tahun 1645 menyebutkan
tentang pengusiran Spanyol dari tanah Minahasa pada tanggal 10 Agustus 1644.
Pengusiran tersebut mengakibatkan terbunuhnya Pater Lorenzo Garalda. Para
Walian Minahasa menghasut masyarakat untuk membunuh semua Missionaris Spanyol.
Rencana para walian bocor hingga para Missionaris Spanyol sempat mengungsi ke
tepi pantai dan berperahu ke Siauw.
Tahun 1655 Pembangunan Benteng ‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu
balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos
berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat
penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai
Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol. Setelah
memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Awal Tahun 1661 Kos dari Ternate
berlayar menuju Manarouw disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan
Diamant. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol di Manarow. Tahun 1673 Belanda
memapankan pengaruhnya di Manarouw dan merubah benteng semula dengan bangunan
permanen dari beton. Lalu Benteng ini diberi nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan
diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate. Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673
(Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 -
1950).
Tahun 1675 Pendeta J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat
lemah. Tahun 1677 VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai
tahun 1700 tidak banyak lagi pendeta yang mau datang ke Indonesia. Kekristenan
pada masa VOC terjadi bukan karena keimanan tetapi karena tekanan politik.
(Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)
Pada tahun 1677 Compeni mengadakan perjanjian dengan Raja Siau dengan
persaratan kesepakatan bahwa Raja serta rakyat harus beralih agama dari Kristen
Katolik menjadi Protestan. Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika
berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah
penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332.
Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61).
Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup
digunung), sehingga orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw adalah salah
satu kerajaan terjauh dari wilayah toritorial kerajaan SaTaS.
Raja-raja Sangihe berasal dari keturunan Gumansalangi kerajaan Tampung Lawo
serta Mokodoluduh dari kerajaan Bowontehu yaitu
Lokonbanua,Sinangiang,Menongsangiang(P. Sangihe), Lokonbanua II (P. Siau) serta
Lohoraung anak dari Bulango(Tagulandang).
Raja-raja Bolaang Mongondow, juga berasal dari keturunan Mokodoluduh kerajaan
Bowontehu melalui Jayubangkai serta Gumansalangi melalui Meliku Nusa yang
menikah dengan Menong Sangiang.
Raja Tadohe anak dari raja Mokodompit raja Bolaang Mongondow dari ibu berasal
dari kerajaan Siau yaitu cucu dari raja Lokonbanua II dan Mangima Dampel yang
berasal dari keturunan Gumansalangi dari Kotabatu Mindanow Kulano (raja)
pertama kerajaan Tampung Lawo dari permaisuri Sangiang Konda Wulaeng (putri
khayangan) yang bergelar Madellu dan Mekilla. Raja Tadohe menikah dengan
Rasingan adalah keturunan ke sembilan dari Gumansalangi. Boki Rasingang cucu
dari Raja Batahi dari permaisuri Maimunah dari kerajaan Rimpulaeng
(Tabukan)bernama Raja Don Franciskus Macaampo Juda I, serta anak dari Hendrik
Daramenusa Jacobus. Alkisah ketika raja Mokodompit gugur dalam peperangan,
Tadohe masih kecil dan dibawa oleh ibunya ke Siau. Kerajaan Bowontehu serta
Kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow diduduki oleh pasukan kerajaan
Goa-Tallo.
Pada tahun 1520 kerajaan di Bolaang Mongondow meminta bantuan kepada Raja
Batahi untuk membebaskan mereka dari pendudukan kerajaan Goa-Tallo.
Kerajaan-kerajaan Sangihe mempunyai ikatan persaudaraan dengan kerajaan Bolaang
Mongondow karena berasal dari kerajaan Bowontehu dan juga perkawinan anak-anak
raja. Maka raja Batahi memerintahkan palinglima Hengkengunaung untuk menggempur
pasukan kerajaan Goa-Tallo. Panglima perang Siau Laksamana Hengkengunaung turun
melalui pelabuhan Pehe lewat Sasambo “Lumintu bo’u Pehe tarai ipe sombang endai
makawawa Untung”. Maka pasukan kerajaan Goa-Tallo berhasil dikalahkan terus
diburu hingga ke Buol-Leok.seperti pernah ditulis beberapa penulis Eopa dan
H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam
format kecil.
Keberhasilan pasukan Hengkengunaung mengusir pasukan kerajaan Goa-Tallo, maka
semua kerajaan di Bolaang Mongondow harus membayar upeti setiap tahun ke Siau
dan kerajaan-kerajaan di Bolaang Mongondow harus di pimpin oleh raja Tadohe dan
keturunannya turun-temurun melalui kesepakatan bersama. Raja Tadohe melalui
Boki Rasingan di karunia anak masing-masing bernama Sadadang,Tendenang, Kaki.
Loloda Daloda Mokoagow adalah cucu dari Raja Tadohe merupakan keturunan ke
sebelas dari Raja Gumansalangi Madellu dengan Sangiang Konda Wulaeng dari
kerajaan Tampung Lawo. Laloda Daloda Mokoagow adalah raja pertama yang menjadi
raja kerajaan Manarow yang berpusat di daratan pulau Sulawesi bagian Utara
sekarang disebut Manado,sebelumnya bernama kerajaan Bowontehu/Wawontehu yang
berpusat di pulau Manarouw (Manado Tua). Kemudian Bowontehu/Wowontehu berubah
menjadi Kerajaan Manarouw dengan raja bernama Laloda Daloda Mokoagow.
Dahulu Kerajaan ini pernah di kuasai oleh suku Bajo dan diserbu oleh pasukan
sultan Kaitjil Sibori dari Ternate bersama pasukannya dari Laloda tetapi
berhasil dihalau oleh pangeran Meliku-Nusa dari kerajaan Tampung Lawo. Pangeran
Meliku-Nusa tidak kembali ke Sangir tapi terus mengembara mengalakan
jagoan-jagoan di Bolaang Mongondow kemudian menikah dengan Menong Sangiang
putri raja Mongondow.
Kerajaan Manarouw merupakan pembentukan oleh Gubernur VOC Maluku, Robertus
Padtbrugge ketika berada di Manarow (Gahenang/Wenang/Manado tahun 1677),
memindahkan ke Singkil 54 orang dari (pulau Manarouw Manado Tua) sakit karena
kekurangan makanan. Penduduk/Rakyat kerajaan Manarow adalah orang
Sangir-Talaud, sesuai catatan Gubernur VOC Maluku, Robertus Padtbrugge ketika
berada di Manado tahun 1677 mengatakan bahwa orang Sangir Tualah adalah
penduduk pribumi yang pertama di Manado, yakni sekitar tahun 1332. (Graafland,
Minahasa masa lalu dan masa kini, terjemahan Joost Kulit).
Manado bukan Minahasa,(sejarah Minahasa-Kontrak 19 Januari 1679 hal 61).
Minahasa itu Malesung, disebut oleh orang Sangir Tau Kaporo (orang yang hidup
digunung), sehingga sekarang ini orang Minahasa disebut orang gunung. Manarauw
adalah wilayah toritorial dari kerajaan Sangihe-Talaud yang terjauh, hingga
kini etnis Sangihe Talaud menyebut Manado adalah Manarauw. Wilayah kerajaan
Manarouw sesuai memori Padtbrugge disebut menurut nama asalnya meliputi : P.
Manarauw(Manado Tua), P. Siladeng, P. Bunaken, P. Mantehage, P. Nain, P.
Talise, P. Gangga, P. Bangka dan P. Lembeh serta daerah pesisir pulau Sulawesi.
.***[Sumber tulisan: Buku karya Shinzo Hayase, Domingo M. Non, dan Alex J.
Ulaen yang berjudul “SILSILAS/TARSILAS (GENEALOGIES) AND HISTORICAL NARRATIVES
IN SARANGGANI BAY AND DAVAO GULF REGIONS, SOUTH MINDANAO, PHILIPPINES, AND
SANGIHE-TALAUD ISLANDS, NORTH SULAWESI, INDONESIA” halaman 251-252]. Hingga
kini lokasi-lokasi tersebut masih ditempati oleh suku Sangihe Talaud dan
Sitaro.
Raja Laloda Daloda Mokoagow juga sebagai raja, kemudian kerajaan Manarow/Wenang
digantikan oleh Donangbala seorang pendekar ahli pedang karena meiliki pedang
sakti. Donangbala adalah keturunan dari Meliku-Nusa dengan Menong
Sangiang.Penduduk Gahenang/wenang adalah orang Sangir Talaud sejak kerajaan
Bowontehu mulai berdiri dan berkembang menjadi banyak. Kerajaan-kerajaan SaTaS
dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit disebutkan dalam Kakawin Negarakertagama
sebagai Uda Makataraya, yang berlabu di Tanjung Pulisang kemudian berlabuh di
pulau Manado Tua lalu menuju ke Sulu tetapi tenggelam di perairan Sangir.
Raja Siauw XIV. Raja Jacob Ponto 1850 – 1882
Putra Raja Bolang Itang Daud Ponto saudara dari Raja Nicolaus Ponto Tawere.
Pemerintahan colonial melihat bahwa Raja Jacob Ponto adalah seorang yang
berbahaya dimata pemerintah Belanda, dan menjadi duri dalam tubuh kolonial maka
pada tahun 1882 beliau dibuang keluar daerahnya ke pesisir utara Jawa Barat ke
kota Cirebon. Beliau menetap di Cirebon sampai wafat pada tahun 1890, dan
dimakamkan di selatan kota Cirebon bernama Sangkanurip 12 km dari kota Cirebon.
Bagi generasi tua di kota Cirebon beliau dikenal dengan sebutan Raja Menado.
Pada masa pemerintahan raja Siauw XVII yaitu Raja A.J. Mohede tahun 1908 -
1912. Manado sebagai pusat kedudukan pemerintahan Kolonial Belanda yakni
Keresidenan Manado dengan wilayah Sulawesi Utara Tengah. Belanda dengan VOC
membatasi kekuasaan para raja dengan pemerintahan Swapraja tetapi kekuasaan
mutlak ada pada kerajaan belanda dalam hal ini Residen Manado. Maka mulailah
daerah wilayah kekuasaan sejak jaman keranjaan Bowontehu di serahkan oleh
raja-raja siauw kepada pemerintahan kolonial. Manado terakhir di serahkan oleh
Raja A.J. Mohede kepada Assisten Residen Manado pada tahun 1908- Masehi.
Jadi Manado bukan milik etnis tertentu,dengan dikuasai melalui
mengkaburkan/merekayasa sejarah kota Manado yang bermula berakar dari kejayaan
Bowontehu kemudian menjadi kerajaan Manarauw(Manado). Tidak ada yang namanya
suku Bowontehu ataupun suku Mindanao yang benar adalah suku Sangil atau Sanghi
atau Sangi atau San Gil atau Sangu atau San atau sangir Talaud, mohon kepada
pemerintah tolong diluruskan. Manado sekarang ini terdiri dari berbagai etnis
yang ada di Nusantara, dan sebagai milik bangsa yaitu Negara Kesatuan Republik
Indonesia,milik kita bersama sebagai suku-suku bangsa Indonesia.
apa lambang dan bendera kerajaan tampung lawo
BalasHapusTulisannya bagus pak, mungkin sedikit diperbaiki struktur penulisan, dan meminimalisir pengulangan...semoga banyak generasi muda suku sangihe yang membacanya..
BalasHapussaya masih ad turunan dr sangihe talaut, dan sy suka tentang cerita.y pak..sy sedikit mengerti cerita.y nie..sepintas yg sy diceritakan mama sy, ternyata cerita.y sedikit mirip dengan cerita bpk...
BalasHapusApa benar dulu ada Ratu bernama SASELA lalu menikah dengan Pelaut Jerman yg bernama ANDERS
BalasHapusApa benar dulu ada Ratu dari Sangir talaud bernama SASELA lalu menikah dengan Pelaut Jerman yg bernama ANDERS??
BalasHapusadakah sejarah tsb???
Ada yg benar sesuai referensi, dan ada yg perlu diluruskan karena didasarkan pada legenda, yg versinya berbeda pada tiap penutur kisah. Sudah bagus sebagai sebagai sebuah tulisan yg bermanfaat bagi generasi masa kini. Terus menulis dan makin sukses menelusur sejarah.
BalasHapusMungkin bpk saya dari ketrunan Raja Tabukan (Tahuna )Raja keVIII Macaampo/David Philip.
BalasHapus