Selasa, 19 November 2013

KERAJAAN KENDAHE DAN SEKITARNYA


Dari perspektif dinamika kependudukan, Tampungan Lawo atau Sangihe Besar pantas dicatat. Karena di pulau inilah sebagai akibat dinamika politik, sosial dan budaya penduduknya diduga sejak abad 15 muncul pemerintahan lokal/tradisional . Pertama kali, dibuktikan lewat catatan jurutulis Magellan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Di Sangihe, Pigafetta mencatat ada empat raja. Dua di Siau dan satu di Tagulandang. Tapi sumber sejarah tiga abad sesudahnya, hasil tulisan F. Valentijn yang datang ke Sangihe awal abad ke-18, menyebut awalnya hanya dua saja kerajaan di Sangihe, yaitu Tabukan dan Kalongan. Menurutnya, nanti kira-kira tahun 1670 muncul sembilan kerajaan di Sangihe, yaitu: Kerajaan Kendahe , Kerajaan Taruna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kauhis, Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan, Kerajaan Sawang (Saban) dan Kerajaan Tamako.
Namun, kemudian kerajaan yang terakhir (Tamako) menjadi bagian Siau. Sementara, Raja Limau ditumpas pasukan kiriman Padtbrugge. Kerajaan ini hancur lebur. Dan, Sawang bergabung dengan Kerajaan Taruna dan Kerajaan Kolongan. Sedangkan Kauhis bergabung dengan Manganitu.
Pada tahun 1898 Kerajaan Kendahe dan Kerajaan Taruna digabung menjadi satu. Di dua wilayah inilah tahun 1919 Raja Soleman Ponto memerintah dengan pusatnya di Kota Tahuna kini. Artinya, pada tahun 1900-an tersisa empat kerajaan saja: Tabukan, Manganitu, Siau dan Kendahe-Taruna.
Terkait dengan hubungan keluar, dua kerajaan awal, Tabukan dan Kendahe di Sangihe Besar, kental mendapat pengaruh sistem kekuasaan di Sulu dan Mindanao (Filipina). Meski kalau ditelaah seksama semua silsilah raja-raja Sangihe-Talaud, Siau, Bawontehu (Manado) dan para keturunan Mokoduluduk lain praktis semua terkait kawin-mawin dengan para penguasa di Mindanao.
Sebuah karya sastra lisan (bansil) wilayah Tabukan membeberkan nama-nama kerajaan (yang diberi garis bawah) sekaligus raja-rajanya yang pernah dikenal masyarakat Sangihe. Kutipan dari karya sastra khas bansil ini ditampilkan dalam ejaan asli van Ophuisen. Kata ’Soe‘ (atau dibaca ‘su’) berarti ‘di’. Kata, ‘’I” sebagai kata penunjuk orang. Taoe atau tau artinya orang atau anak.
‘’Soe Manaro i Laloda, Soe Wenang i Donangbala,
Soe Tahoelandang i Pako, Madolokang i Tamoengkoe.
Soe Siaoew i Mohonise, soe Pehe i Winsoelangi
Soe Tamako i Kakalang,
Soe Manganitu i Tolo, Mahoeboengan i Tompolioe,
Soe Tahoena i Woentoeang, Malahasang i Poeloentoembage,
Soe Kalongan i Tatehe taoe maka Tehe woba,
Soe Kendahe i Hioeng, Malinkaheng i Wagania,
Soe Talawide i Poeko, taoe Pepoekoliwoetang,
Soe Sawang i Rodoti, Welengang i Pontolawokang,
Soe Sahabe i Matali , Sohowang i Pangaloreloe
Soe Tawoekang i Hama, Rimpoelaeng i Woeateng
Soe Loemaoege i Taboei, Kaloesada i Ratoengboba
Soe Koema i Kolowoba
Soe Koeloehe i Makakoeheting soe Pako Woelele
Soe Manaloe i Loemampoe Tonggentoelang i Megenoe
Soe Moade I Kansile Manoewo I Ongkedio’’21
Sebelum disebut sebagai raja, pemimpin komunal mendapat gelar ‘datu’. Alex Ulaen menyebutkan dalam beberapa bukunya, kedatuan merupakan awal dari sistem kepemimpinan komunal (proto pemerintahan). Sistem ini pantas diduga sebagai pengaruh Islam yang tersebar dari Malaka (Melayu). Di Sangihe salah satu titik masuk Islam adalah dari Utara, yaitu Sulu dan Mindanao. Di Filipina, misalnya, Syarif Kabungsuan atau Syarif Muhammad, sang pembawa Islam di Sulu sekaligus dikenal sebagai pembentuk sistem kedatuan pertama di Maguindano Mindanao. Kata ‘datu’ merupakan kata Melayu lama. Islam awal dari wilayah Mindanao terkait dengan jaringan Persia.
Kerajaan Tabukan disebut merupakan kerajaan tertua di abad ke-15 di Sangihe dan Talaud.22 Meski menurut sebuah kajian yang diterbitkan Kyoto University,23 sebelum itu sudah muncul beberapa kedatuan, baik di bawah pimpinan datu dan pemimpin yang bergelar kulano.
Sebelum kemunculan kedatuan di Tabukan, kajian Alex Ulaen et al menyebut kiprah awal Bowontehu yang terkait dengan tokoh sentral Mocoduludugh (Mokoduludut).24 Wilayahnya meliputi pulau-pulau sekitar teluk Manado, pesisir Utara pantai Sulawesi Utara. Molibagu, Bentenan dan wilayah Ratahan.
Dalam catatan beberapa dokumen, rombongan pimpinan Mokoduludugh melakukan perjalanan dari Molibagu dan mengelilingi tempat-tempat di Bolaang Mongondow, Minahasa, lantas ke pulau Lembeh, dan kembali ke daerah sekitar kaki gunung api Lokon.
Kemudian rombongan itu mendiami tempat yang diberi nama Bentenan, dan akhirnya ke pulau Manaro (Manado Tua). Tempat akhir ini sering dikaitkan sebagai lokasi Kerajaan Bowontehu sampai pasca kedatangan pihak Portugis.
Seorang tokoh bernama Lokongbanua II, yang juga keturunan Mokodulut, tercatat pergi dari Bawontehu ke pulau Siau dan mendirikan Kerajaan Siau. H.B. Elias menyebut tahun pendiriannya adalah 1510. Kerajaan ini berpusat di kediaman Lokongbanua II di Kakutungan
Kerajaan Tabukan yang disebut merupakan bentuk kerajaan awal di kawasan SaTaS sering dikaitkan dengan kiprah dua tokoh, pertama Gumansalangi. Sedang, tokoh legendaris kedua bernama Makaampo Wawengehe.
Gumansalangi disebut sebagai tokoh yang mendirikan kedatuan Tampungan Lawo atau Tabukan antara tahun 1300-1350 yang wilayahnya meliputi Sangihe dan wilayah Filipina Selatan. Tokoh ini dikisahkan asalinya adalah pangeran dari seorang sultan di Mindanao Selatan.
Menurut cerita, pangeran Gumansalangi dihukum ayahnya dan dibuang dalam hutan. Di situ malah dia bertemu Sangiangasa atau Kondawulaeng, seorang puteri kayangan yang lantas jadi istrinya. Keduanya menunaikan hukuman dibuang dengan menaiki kendaraan gaib, seekor ular besar, ke tempat yang akan ditandakan dengan deru guntur dan kilatan petir silih berganti.
Setelah singgah di beberapa tempat di antaranya pulau dan gunung bagian Selatan SaTaS, yang disebut adalah Tagulandang dan Siau, akhirnya keduanya tiba di puncak gunung Sahendarumang.
Ketika berada di atas gunung Sahendaruman (di pulau Sangihe) keduanya mendengar guruh-gemuruh guntur dan singsing menyingsing petir. Itu adalah pertanda yang diberikan ayah Gumansalangi bahwa mereka sudah tiba di tujuan. Keduanya pun lantas turun ke pemukiman penduduk dan di sana Gumansalangi dijuluki sebagai Medellu (guntur) sedang Sangiangasa sebagai Sangiangkila (Puteri Kilat).
Datu Gumansalangi mempunyai dua anak, Melintangnusa dan Melikunusa. Melikunusa berlayar ke Selatan dan tiba di Mongondow. Dia mengawini Monongsangiang, putri Mongondow. Dan wafat di sana. Sebaliknya, Melintangnusa menggantikan ayahnya sebagai datu kedua (1350-1400). Dia banyak kali berkunjung ke Filipina Selatan dan bahkan meninggal di sana.
Kedatuan ini sepeninggal Gumansalangi dibagi menjadi dua, yaitu: Kedatuan Sahabe di bagian Utara dan Kedatuan Salurang di Selatan.
Tokoh kedua yang juga penting berkaitan dengan Tabukan adalah Makaampo Wawengehe. Penguasa kelahiran Rainis, Talaud, yang pada masa kanak-kanak ditinggal mati ayahnya. Dia kemudian diasuh di rumah dua pamannya di Salurang (Sangihe). Makaampo pada saat dewasa menyatukan kembali kedatuan Salurang dan Sahabe dan memerintah di sini antara 1530-1575. Daerahnya meliputi: Sahabe, Tabukan, Lapango, Kuma, Kuluhe, Manalu dan Salurang. Kerajaan ini masih eksis saat kedatangan bangsa-bangsa Barat (Portugis, Spanyol, Belanda) meski sudah diperintah generasi raja berikutnya.
Jika dicermati besaran wilayah kerajaan-kerajaan yang disebut-sebut tadi, jelas wilayahnya tidak seberapa luasnya. Misalnya, bila dibanding dengan wilayah kerajaan-kerajan kontinental atau kerajaan maritim besar. Namun realitas ini tidak sedikitpun meri-saukan Nico Makahanap25,, peminat sejarah dan budaya SaTaS. Dia menyatakan, ‘’dibanding dengan kerajaan-kerajaan Eropa sezamannya yang kini masih bisa dilihat sisanya, seperti Liechten-stein, Monaco, Andora dan San Marino, wilayah kerajaan-kerajaan di Sangihe-Talaud jelas jauh lebih besar.”
Kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe hingga permulaan abad ke-20 tercatat mencakup wila-yah pulau-pulau Talaud. Tidak terkecuali daratan besar tanalawo. pulau Karakelang, pernah terbagi menjadi bagian wilayah dari kerajaan Tabukan, kerajaan Manganitu, kerajaan Kendahe-Taruna, kerajaan Siau dan kerajaan Tagulandang.26
Tercatat pula ada kerajaan yang ‘wilayahnya’ sampai ke bagian-bagian negara Filipina kini. Kendahe misalnya disebut-sebut dalam beberapa situs di Mindanao sebgai candahar mempunyai wilayah ke Mindanao. Kerajaan ini mula-mula merupakan bagian dari kerajaan Mindanau Tubis.
Adapun wilayah Kerajaan Kendahe setelah pisah dari Tubis meliputi Bahu, Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Kawio, Lipang, Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Bagian yang di Mindanao merujuk pada data Valentijn adalah Coelamang, Daboe (Davao), Ijong, Maleyo, Catil dan Leheyne,
Meski demikian, penting digarisbawahi pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini.Kala itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang lain27. Sedang, kekuasaan menurut Evelyn Tan Cullamar dalam tulisannya ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politik dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para elit pemimpin.
Dalam sistem pemerintahan Kerajaan Tabukan, menurut dokumen dari Kerajaan Tabukan tahun 1927, jabatan setingkat di bawah raja adalah, jogugu. Sedang, di tingkat kampung ada pemimpin yang disebut kapitalaung (di Sangihe) atau apitalau (di Talaud) dan kapitalau (di Sitaro).
Menurut J. Makasangkil, kata capita atau kepala dalam bahasa Spanyol dan Porto, di kawasan SaTaS diartikan sebagai jabatan pemimpin orang banyak (lawo) atau pemimpin untuk sebuah ikatan (lawung= ikatan) atau lau (himpunan berbagai campuran). Jabatan ini diberikan pada pemuka yang karena kecakapannya mampu mengikat atau mempersatukan masyarakat sebagai satu kesatuan hukum; memelihara keutuhan serta adat.
Di bawah kapitalaung ada hukum mayor dan hukum. Di kampung juga ada jabatan yang menangani urusan pengadilan, yaitu disebut kapitan bisara, yaitu jaksa. Kewajibannya adalah menyampaikan dakwaan dan membawa terdakwa ke hadapan majelis pengadilan.
Untuk urusan mengadili dipilih seorang hukum mayor yang dilantik menjadi hulu hakim majelis, sedang raja, jogugu, kapitanglaung,hukum mayor serta hukum berlaku sebagai anggota majelis. Kemudian hari dokumen Belanda Mededelingen 1912 membeberkan kuasa pengadilan dipegang semata oleh raja dan penguasa kolonial.
Adapula jabatan yang secara khusus mengelola pelabuhan. Bergelar syahbandare. Pejabat ini mengatur lalu lintas masuk keluar kapal. Termasuk, menjemput tamu sekaligus menghadapi segala bahaya yang masuk via pelabuhan.
Jabatan syahbandar ini, pertama, pantas diduga merupakan pengaruh sistem pengelolaan pelabuhan yang diadopsi dari kerajaan-kerajaan Islam-Melayu, semacam Malaka yang memang paling terkenal dan menjadi patron perdagangan Nusantara sebelum kedatangan Portugis. Kata ini bisa saja diserap via Ternate di Tabukan.Pemakaian kata itu merupakan bukti kuat pengaruh jaringan dagang ke Malaka. Sebuah konferensi internasional memperingati 500 tahun hubungan historis Indonesia-Portugis pada tahun 2000 pernah menampilkan paper Uka Tjandrasasmita yang detil membedah ihwal perdagangan di pelabuhan-pelabuhan penting sebelum kedatangan Portugis di Goa (1498) dan Malaka (1511). Di dalam tulisan berjudul ’The Indonesian Harbour Cities and the Coming of the Portuguese” konsep syahbandar Malaka sempat diungkap.
Di samping jabatan penguasa pelabuhan itu, kerajaan juga mempunyai bala tentara yang biasanya dikepalai pangeran dan diberi gelar mayore labo atau mayor besar. Di bawahnya ada mayore (mayor), kapita (kapten), lutunani (letnan), ondore adidang (ajudan), aliparese (pembawa bendera), sariang mayore (sersan mayor), sariang dan kaparale (kopral).
Khusus dalam istana Tabukan ada jabatan kapitaratu (kepala rumah tangga istana) dan keneke (juru rasa makanan). Juga ada barisan dayang-dayang yang disebut gunde yang dikepalai pangantaseng. Sedang di tingkat kampung, ada jabatan hakim pemisah, mantri polisi, pemungut cukai, mandor jalan, mantri kerajaan dan ibu-bapa bagi rakyat.28
Sedang di Kerajaan Siau ditemui struktur dan susunan (hirarki) pemerintahan yang secara garis besar serupa dengan yang di Tabukan. Kecuali, sejak tahun 1592, sekembali dari pengungsian di Ternate serta demi menghindari terulangnya serangan pasukan Mindanao sebelumnya, Raja Winsulangi melakukan reformasi pemerintahan.
H.B. Elias, ‘’Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau” mengurai langkah-langkah reformasi itu:Pertama, raja Winsulangi membentuk sebuah dewan pemerintahan tertinggi dengan nama Komolang Bubatong Datu (Majelis Kerajaan Siau). Anggotanya terdiri dari keluarga raja dan bangsawan namun juga keterwakilan tokoh-tokoh masyarakat terkemuka. Dewan dipimpin oleh Presiden Raja yang terus berhubungan dengan Raja dalam pemerintahan hari ke hari. Dewan ini berkewenangan bersidang menentukan dan mengangkat raja. Pada kasus Raja tidak ada dalam jangka lama atau berhalangan, dewan dapat mengambil inisiatif mengangkat Presiden Pengganti Raja. Ini hanya berlaku dalam keadaan genting dan jarang terjadi.
Dewan itu jelaslah menjadi sarana bagi rakyat untuk ikut serta dalam berbagai urusan pemerintahan. Memang Don Jeronimo Winsulangi berniat agar pemerintahan Siau jangan jadi despot dan penguasa tunggal. Karena dewan ini H.B. Elias menyatakan sifat kerajaan sudah konstitusionale monarchi meski sebenarnya itu akibat kebijakan pemerintahan Portugis.
Kedua, setelah berkonsultasi dengan orang-orang Spanyol raja membentuk pertahanan kerajaan, yaitu angkatan perang darat dan laut. Angkatan darat terdiri dari pasukan kompania, upase dan alabadiri. Kompania adalah tentara biasa, sedangkan upase adalah pengawal raja dan labadiri tentara pengawal istana. Pangkat-pangkatnya sama dengan yang ditemukan di Tabukan, dengan bahasa Porto atau Spanyol.
Sedang angkatan lautnya terdiri dari armada perahu perang bininta, konteng dan kora-kora.Angkatan laut dipimpin seorang laksamana, yang saat itu dijabat Laksamana Hengkeng u Naung yang terkenal karena penjelajahannya dari Filipina hingga Leok Buol dengan beberapa daerah tundukan dan wilayah sahabat. Bahkan pernah mengusir pasukan armada Makassar dari Bolaang Mongondow seperti pernah ditulis beberapa penulis Eopa dan H.M. Taulu. Tak heran H.B.Elias dalam bukunya juga menyebut Siau imperium dalam format kecil.
Ketiga, Raja menciptakan panji-panji atau bendera kerajaan. Warnanya secara khusus diturunkan dari dua warna tradisional dalam ritual Siau pada dewa laut (Mawendo) dan darat (Aditinggi), yaitu masing-masing warna merah dan putih. Dua warna ini bagi masyarakat Siau bersifat sakral.
Mungkin, karena itu perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mengusung simbol merah putih Indonesia dengan cepat dan konsisten direspon pejuang-pejuang Indonesia asal Siau yang menjadi partner Soekarno di PNI semacam G.E. Dauhan dan diteruskan para tokoh lain sesudahnya semacam Esly Salekede.
Panji-panji kerajaan Siau ciptaan Winsulangi itu, tampil dalam tiga ukuran dan bentuk. Semuanya disebut sebagai seka-saka. Bendera itu berwarna merah yang dikelilingi bis putih. Bendera ini dipakai terus sampai zaman Belanda. Karena bendera ini, suatu ketika Raja Jacob Ponto dibuang Belanda ke Cirebon. Maklum raja ini tidak mau menurunkan bendera berukuran 80x80 cm di depan istananya. Setelah itu pembuangannya, Belanda sama sekali melarang pengibaran bendera sejensi itu di Siau.
Meski demikian, angkatan perang Siau terus memakainya. Terbukti saat Raja L.N. Kansil yang berangkat ke Tahuna pada tahun 1923 untuk menghadiri perayaan jubelium perak (25 tahun) pemerintahan Ratu Wilhemina. Raja ini memakai bendera itu di perahu kora-koranya dan dengan megah memasuki pelabuhan Tahuna serta disambut secara resmi kala acara itu.
Keempat, urusan pemerintahan diserahkan sepenuhnya kepada Jogugu, yang ketika itu dijabat D’Arras (Darras) yang juga adalah ketua presidenti raja. Perpaduan D’Arras dengan Hengkeng U Naung (atau Hengkengnaung) menghasilkan perluasan wilayah Siau dan penumpasan bajak-bajak laut Mindanao di Laut Sulawesi.
Kelima, supaya mendapat kemajuan yang cepat maka para putera kerajaan (Pangeran Batahi) disekolahkan di universitas di Manila di intramuros.

Adapun struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro secara umum dirangkum Steller dalam De Sangi Archipel dengan susunan meliputi jabatan-jabatan:
- Raja
Dibantu Bobato (rijksgroten) atau pembesar istana atau Dewan Raja atau
Presidenti Raja.
- Jogugu
- Presidenti Jogugu (tidak selalu ada)
- Kapten Laut
- Mayore Labo
- Hukum Mayore
- Sadaha Negeri
- Kapitan Bisara
- Sengaji
- Kumelaha
- Sawohi
- Sahbandar
- Marinyo Bisara
- Marinyo Bala
- Marinyo
Sekilas praktik pemerintahannya tidak mengacu pemisahan cabang-cabang kekuasaan atau trias politica, namun mencampurkan cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun demikian mulai ada pelibatan rakyat dalam kontrol kekuasaan yaitu dalam badan atau dewan raja yang memberi masukan bahkan mengontrol raja. Kontrol itu sangat disadari di Siau sejak Raja Winsulangi. Bahkan di Kerajaan Kendahe pernah pemilihan Raja Makaado (1773-1792) dilakukan lewat pemilihan langsung dan demokratis oleh rakyat.
Negara juga diperlengkapi aparatus militer detil, yaitu angkatan darat dan laut. Dua angkatan ini jelas terkait dengan kebutuhan keamanan dan pertahanan dari berbagai ancaman zaman itu , sekaligus menjadi bukti orientasi maritim kala itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar